Alhamdulillah hari Ahad 12 Desember 2021 saya bisa mengikuti acara webinar dengan tema “Peran dan Fungsi Mahasiswa Dalam Menyikapi Permendikbud Ristek No. 30 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”. Acara yang dilangsungkan sejak pukul 13.00 dan berkahir pada pukul 15.00 WIB ini diselenggarakan oleh Bidang Kajian Strategis dan Wacana Intelektual Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persatuan Ummat Islam (PUI) Jawa Barat.
Kegiatan yang dilakukan oleh HIMA PUI Jawa Barat kali ini merupakan agenda yang tentu saja didukung oleh berbagai elemen yang ingin menjaga moralitas perguruan tinggi. Hal ini layak diapresiasi juga, sebab pada Rabu, 17 November 2021 lalu Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Persatuan Ummat Islam (PUI) Jawa Barat telah mengadakan serupa dengan tema “Kritisi Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.”
Kala itu, H. Iman Budiman, S.Th.I., M.Ag selaku Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat saat menyampaikan sambutan menyampaikan bahwa Persatuan Ummat Islam (PUI) menilai Permen tersebut bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi. “Sebagai bagian dari entitas ummat Islam dan publik PUI menegaskan bahwa peraturan ini mencederai nurani dan akal sehat, bahkan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Karena itu mesti ditolak,” tegasnya.
Ya, beberapa waktu belakangan ini publik dihebohkan dengan hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS). Menteri Nadiem Makarim meneken aturan tersebut pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Peraturan ini pun menuai pro-kontra yang hingga kini masih terjadi di tengah masyarakat.
Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban, dan lambannya penanganan kasus di perguruan tinggi (PT) merupakan sebagian alasan pentingnya permen tersebut. Kemendikbudristek sebenarnya memiliki niat baik sebagaimana tercantum dalam konsideran permendikbudristek itu, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual.
Konsideran berikutnya, Kemendikbudristek menyadari meningkatnya kekerasan seksual di ranah komunitas termasuk PT, langsung atau tak langsung berdampak kurang optimalnya Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Hal ini menjadi menjadi suatu masalah yang kompleks di masa mendatang manakala tidak diantisipasi sejak dini, termasuk dalam bentuk aturan yang mengikat dan berlaku semua pihak.
Pada kesempatan ini Doktor Artaji selaku narasumber pertama menjelaskan tentang landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Bila bertentangan dengan salah satu landasan saja maka sebuah peraturan tak bermakna apa-apa. “Sebuah aturan mesti berlandaskan pada tiga landasan utama yaitu landasan filosofis, landasan konstitusional dan landasan yuridis,” ungkapnya.
Kita maklumi ungkap Dr. Artaji bahwa negara ini adalah negara hukum dan menghormati berbagai norma yang hidup di tengah masyarakat terutama nilai agama dan budaya yang baik. Dengan demikian, respon kita pada permen yang sedang kita bahas dan diperbincangkan oleh berbagai elemen tersebut perlu dikaji dan diperdalam dari berbagai perspektif, termasuk dari perspektif Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, di samping itu tentu perspektif agama terutama Islam.
Sebagai narasumber kedua, Dr. Wido menyampaikan bahwa diantara peran dan fungsi mahasiswa terkait dengan isu ini adalah sebagai berikut, pertama, menjaga ideologi Pancasila, Kedua, Menjaga NKRI sebagai negara Non-Blok, bukan sebagai kantor cabang Barat. Ketiga, menolak berbagai bentuk pengtidakhormatan atas proses hukum yang sedang berjalan. Kempat, menolak plagiarisme, termasuk plagiat para penentu kebijakan publik dalam mengahdirkan permen ini. Permen ini kuno dan jauh dari nilai-nilai moralitas dan etika. Kelima, bergerak dengan ketelitian sekaligus pembacaan teks yang komprehenshif.
Selanjutnya, keenam, menganalisis dampak positif dan negatif sebuah aturan hukum. Ketujuh, perlu memhami bahwa permen ini didukung oleh kelompok LGBT dan pendukungnya. Kedelapan, independeng dan bersih dari kepentingan apapun kecuali dalam prinsip-prinsip kebenaran. Kesembilan, memahami bahwa penafsiran aturan pada akhirnya dilakukan oleh penegak hukum oleh polisi, jaksa, hakim, bukan anggota DPRD dan pemerintah. Kesepuluh, memperjuangkan bahwa seks bebas dan penyimpangan orientasi seksual harus ditutup rapat.
Singkatnya, dengan adanya permen ini sejatinya menjadi karpet merah bagi kaum Lesbian, Gey, Biseksual, dan Trans Gender (LGBT) dan kelompoknya yang memang terus menerus melakukan penyebaran isme melalui berbagai forum dan pola, termasuk di berbagai media massa. Kelompok LGBT dan kelompok pendukung mereka telah lama berjuang untuk menyebarkan isme-nya ke berbagai negara di dunia. Bahkan berbagai buku, jurnal dan wacana mereka begitu giat dan geliat disebarkan ke berbagai kalangan dan dan penjuru.
Mengapresiasi acara ini saya perlu menyampaikan bahwa memang ada banyak poin yang perlu dikritisi pada peraturan tersebut. Misalnya, disebutkan tentang pasal 5 ayat (2) huruf l dan m yang mencantumkan kata-kata “tanpa persetujuan korban”. Bila frase itu dibiarkan maka akan terjadi pembiaran seks bebas dan melawan moral agama yang diakui di Indonesia.
“Coba nalarnya dibalik, bila tanpa persetujuan korban baru dianggap melanggar maka bila antar kedua belah pihak saling setuju berati tidak dianggap melanggar. Hal ini justru melanggar etika dan moral agama sebagai bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai yang menjadi sumber konstruksi penyusunan hukum negara kita,” tegas Mei Susanto, S.H., MH. Selaku Direktur Pusat Advokasi Hukum dan HAM – PAHAM Jabar dan Dosen Fakultas Hukum UNPAD pada acara webinar yang diselenggarakan DPW PUI Jawa Barat pada 17 November 2021 lalu.
Lebih jauh, pada Pasal 1 permen tersebut disebutkan, dalam permen ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Penjelasan semacam itu malah menimbulkan penafsiran di sana-sini. Misalnya pada redaksi, “… karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.” Redaksi ini bias gender, seakan-akan membela korban malah membiaskan substansi sobjek aturan dan tindakan pelanggarannya.
Hal lain, diantara poin yang mendapat penolakan dari berbagai elemen seperti ormas Islam, perguruan tinggi dan masyarakat pesantren, juga organisasi pemuda sekaligus mahasiswa pada permen ini adalah Pasal 5 ayat (1) dan (2). Disebutkan pada Ayat (1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian, pada Ayat (2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah huruf l: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; huruf m: membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh Doktor Artaji bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan mesti berlandas pada aspek filosofis, konstitusi dan yuridis. Tujuan Pendidikan Tinggi menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan poin (1) berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Bahkan permen ini menjadi karpet merah bagi kaum LGBT dan kelompoknya yang memang terus menerus melakukan penyebaran isme melalui berbagai forum dan pola, termasuk di berbagai media massa. Adanya nomenklatur “tanpa persetujuan korban” di dalam pasal 5 permen tersebut sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan tinggi yang dijelaskan pada UU No. 12 Tahun 2012 tersebut, terutama berkaitan dengan “akhlak mulia” dan “berbudaya”.
Bahkan menurut Pakar Hukum Pidana Prof. Romli Atmasasmita frasa dengan persetujuan yang didahului frasa “dengan sengaja” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dari permen tersebut dalam upaya pemerintah mencapai tujuan permen itu sendiri. Lebih jauh, permen tersebut diduga kuat malah melegalkan seks bebas di kalangan mahasiswa. Sebab, dengan alasan adanya persetujuan korban atau consent, maka perbuatan-perbuatan yang melanggar norma keagamaan seperti hubungan seksual di luar pernikahan akan dianggap wajar. Hal itulah yang menjadi konsen sebagian besar publik terutama berbagai ormas Islam, perguruan tinggi dan kalangan pesantren untuk menolak peraturan tersebut.
Penolakan publik atas permen tersebut bukan karena publik pro dengan kekerasan seksual atau upaya lain yang merendahkan korban seksual. Namun, justru ingin masalah ini diatasi secara komprehensif benar-benar dari sumber permasalahannya, bukan sekadar permukaannya. Sementara permen ini justru dinilai hanya akan melahirkan masalah-masalah baru yang lebih riskan dan merusak tatanan moral. Bila permen yang dibuat justru menimbulkan keresahan dan masalah baru, lalu untuk apa dihadirkan kalau bukan untuk agenda terselebung kelompok tertentu?
Saya mengusulkan agar permen ini direvisi, terutama pada poin-poin yang digugat oleh publik seperti yang saya jelaskan di atas. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Mas Nadiem Makarim perlu mengundang para pakar hukum, kalangan ormas Islam dan perguruan tinggi agar memberi masukan konstruktif pada isu dan permen tersebut.
Hal tersebut menjadi langkah maju agar apa yang menjadi tujuan permen tersebut disusun berdampak baik baik dan menjadi konsen kolektif atau semua kalangan juga masyarakat. Atau kalau memungkinkan, permen dibatalkan saja dan lakukan pembenahan lebih subtantif, misalnya, fokus revisi dan tetapkan draf KHU Pidana yang pernah dibahas. Bila tidak ada pembenahan secara serius, maka kita bakal terus dihantui pertanyaan: Permen atau Permendikbudristek No. 30 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi benar-benar berbau sekaligus agenda terselubung kaum LGBT?.
***********
Penulis: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku, Pemerhati Kebijakan Publik dan Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)