Ustadz Dr. Muhammad Ardiansyah: nama ini memang sudah tidak asing lagi di telinga. Tentu saja! Sehari-hari, ia berkhidmat sebagai guru dan pengasuh di Pondok Pesantren at-Taqwa Depok. Telah banyak karya yang ditulisnya. 20 Catatan Kritis termasuk karya terawalnya yang bagi saya sangat menarik.
Saat pertama kali melihat buku tersebut saya sudah mulai tertarik. Jika diperhatikan kembali, ada kemiripan cover dengan Garis Waktu-nya Fiersa Besari, dengan polaroid-polaroidnya. Akan tetapi judul dan isinya tentu sangatlah berbeda. Ustadz Ardi, demikian ia biasa disapa, membawakan masalah serius dengan pembawaan populer. Sehingga, tulisan Ustadz Ardi membuat kita mudah memahami tentang liberalisme dan kekeliruannya.
Tapi jujur saja ada satu kekurangan dalam buku ini. Yaitu dalam pemilihan font tulisannya yang dibuat italic. Ini cukup mengganggu dalam membaca kata per kata secara teliti. Walaupun begitu, hal itu tetap tidak menghalangi saya dalam membaca buku ini.
Secara menyeluruh buku ini membahas mengenai beberapa masalah dalam agama, seperti masalah ketuhanan, kenabian, al-Qur’an, syari’at, dan lain-lainnya. Saya sendiri tertarik dalam masalah syariat terkait batasan aurat.
Tapi sebelumnya, apa yang dimaksud dengan Liberal? Liberal adalah pemikiran yang Bebas. Orang liberal kadang juga mengaku beragama tapi tidak ingin terikat dengan Tuhan, hukum, dan norma agamanya. Salah satu contohnya adalah dalam masalah batasan aurat itu sendiri. Menurut kaum liberal menutup aurat atau memakai hijab itu tidak wajib, masalah khilafiyah saja.
Dalam pelajaran Fiqih Muqaranah, Ustadz Muhammad Kholid menjelaskan tentang pengertian aurat. Aurat itu sendiri artinya adalah, secara bahasa, kekosongan. Yang dimaksudkan dengan kekosongan itu adalah ketika seseorang telanjang: tidak terdapat sehelai pakaian pun yang menutupinya. Itulah yang dinamakan dengan kosong, yakni kosog dari barang-barang yang menutupi tubuhnya. Kita diperintahkan untuk menutupinya dan mengisi kekosongan tersebut.
Secara istilah, aurat adalah apa-apa yang haram dibuka dari badan perempuan maupun laki-laki. Mayoritas fuqaha berkata bahwasanya, tubuh perempuan itu semuanya adalah aurat di laki-laki yang tidak dikenal kecuali wajah dan telapak tangan perempuan.
Dalam buku ini diceritakan, suatu ketika Ustadz Ardi diminta untuk memberikan pengajian di Condet, Jakarta Timur. Setelah selesai dalam menyampaikan materi salah satu peserta bertanya kepadanya tentang masalah Jilbab. Ia menanyakan persoalan jilbab, sebab ia mendapatkan informasi dari seorang pakar tafsir mengenai jilbab itu tidaklah wajib, bukan wajib atau tidaknya jilbab.
Kata-kata tersebut juga dituliskan oleh sang pakar tafsir tersebut dalam bukunya. Ia katakan bahwa pemakaian jilbab itu adalah masalah khilafiyyah (perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang batasan Aurat). Sang pakar menyebutkan kalau jilbab itu tidaklah wajib. Memang terjadi khilafiyyah tentang batasan aurat, tapi perbedaan yang terjadi itu mengenai wajibkah memakai cadar atau tidak.
Adapun masalah aurat selain muka dan telapak tangan maka tidak terjadi khilafiyyah. Tapi sayangnya sang pakar tersebut tergelincir dan memperluas mana yang tidak menjadi batasan auratnya. Malah dalam buku itu, ia banyak mengutip pendapat Muhammad Asymawi, seorang pemikir liberal dari Mesir. Sedangkan ulama fiqih empat madzhab tidak ia jelaskan secara lengkap. Jadilah terdapat banyak ketimpangan dalam bukunya.
Dengan adanya pendapat tentang “kebebasan menutup aurat” bahkan dari ‘pakar tafsir’ itu, menurut Ustadz Ardi, “bagaimanapun beliau adalah seorang ulama yang patut kita hormati. Namun demikian, ketika ada kekeliruan dalam pemikirannya, maka kita pun tidak boleh tinggal diam dan harus meluruskannya baik secara langsung kepadanya adatu kepada umat Islam.”
Dalam sebuah tulisan dari seorang aktivis liberal di sebuah surat kabar tahun 2002 pun dinyatakan, bahwa Jilbab intinya adalah pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency), dan sifatnya itu fleksibel. Menurutnya, pakaian itu sendiri berkembang sesuai perkembangan kebudayaan masing-masing. Standar aurat itu tergantung daerah dan kebudayaan masing-masing.
Di India, wanita yang memakai pakaian yag terlihat pusarnya adalah sesuatu yang menjadi biasa. Bagi wanita Barat memakai bikini tu bukanlah pakaian yang memalukan dan bahkan jadi pakaian wajib di pentas Miss Universe. Pernyataan itu keliru. Jika hal ini diterapkan dalam batasan aurat, maka semua akan serba relatif.
Mengenai hal ini Allah Ta’ala sudah mengatakan dalam firman-Nya QS an-Nur ayat 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman; ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…” Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menundukkan pandangan.
Terkait perhiasan yang perempuan miliki, kecantikan yang ada pada dirinya, Allah melarang mereka menampakkannya, kecuali yang biasa nampak, yakni wajah dan telapak tangan. Lalu, Allah juga memerintahkan untuk “… menutup kain kerudung ke dadanya.” Tentang kerudung, jilbab, atau hijab ini, banyak orang yang mengartikannya hanya sebuah kain yang menutupi rambut, padahal tidak sesederhana itu.
Badiuzzaman Said Nursi dalam Al-Lama’at, mengatakan bahwa hijab adalah fitrah bagi perempuan sehingga mereka membutuhkannya karena perempuan itu juga mempunyai tabiat yang halus dan sensitif. Maka dari itu, mereka sangat menghindari pandangan jahat yang dapat menimbulkan efek konkrit seperti racun (Badiuzzaman Said Nursi, Al-Lama’at, Banten: Risalah Nur Press, 2018, halaman 372).
Dalam buku Fatwa-fatwa tentang Wanita, dalam bab “Kitab Pakaian dan Perhiasan” dikatakan bahwa jilbab adalah suatu kain yang menutupi kepala dan badan, di atas pakaian luar. Sementara yang hanya menutupi kepala disebut Khimar. Maka hendaknya wanita memakai jilbab (Syaikh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaikh et.al., Fatwa-fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq, 2012, hlm. 586).
Jadi kesimpulannya adalah, ulama itu patut kita hormati. Terlebih ulama madzhab yang telah diakui otoritasnya. Tekait jilbab, dalam Islam pemeluknya diperintahkan untuk berpakaian dengan baik. Kita memang mengetahui adanya “perbedaan” berbagai bangsa dan kebudayaan dalam berpakaian, atas dasar pandangan hidup kita sebagai orang Muslim.
Tidak boleh seorang Muslim, membenarkan sesuatu yang tidak benar, berdasar ajaran agama. Perbedaan dalam berpakaian dari berbagai bangsa dan kebudaayaan patutlah diukur dalam standard ajaran yang kita yakini: bukan mengakuinya dengan dasar relativisme kebenaran atau konstruksi sosial semata.
***********
Penulis: Khalishah Inas Tsabitah
(Santriwati PRISTAC—Pesantren at-Taqwa Depok, 15 tahun)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah