“Terkadang mereka nongkrong di taman kampus ini hingga larut malam, sekitar pukul sembilan malam atau bahkan bisa lebih dari itu. Saya ingin kedepannya mereka bisa ditertibkan, karena tidak enak dengan pandangan masyarakat sekitar jika sampai terlalu malam” tutur seorang satpam sebuah universitas Islam negeri terkemuka sebelum masa pandemi.
Mereka yang nongkrong itu campur lelaki dan perempuan. Tetapi yang miris adalah, nongkrong bisa berlanjut hingga tidur bareng di kamar kost.
Kehidupan malam mahasiswa memang perlu ditertipkan. Sebab, bisa berlanjut pada kehidupan seks yang sangat mengkhawatirkan.
Banyak sekali terjadi kasus hamil di luar nikah. Banyak media memberitakan pergaulan remaja yang sudah melewati batas kewajaran. Kehidupan malam mereka sungguh memperihatinkan, dan merupakan salah satu faktor penghancur moral bangsa.
Persoalan terberat kampus adalah soal moral. Minimnya kesadaran beragama adalah sebab utamanya.
Gaya berfikir sekular, dan model kehidupan yang hedon adalah faktor yang sangat mendukung insan kampus melakukan pelanggaran seksual.
Dengan gaya berfikir sekular, maka kontrol agama terhadap moral itu tidak ada. Jika kontrol moral itu nihil, maka nafsu manusia bebas melakukan semaunya.
Para orang tua yang memiliki putri belajar di kampus pantas banyak yang sangat was-was. Bisa saja berangkat dari rumah baik-baik saja. Berpakaian sopan dan rapi. Namun siapa tahu, dia terjerat oleh gaya berfikir sekular dan hedon. Belum lulus skripsi sudah menimang bayi. Meski belum menikah.
Mahasiswi yang demikian bukan korban. Tetapi pelaku pelanggaran seksual di Kampus. Dilakukan dengan pasangannya. Dengan saling bersetuju untuk melakukan pelanggaran seksual. Si lelaki dan si wanita, sama-sama pelaku.
Demikian ini adalah fenomena yang sudah banyak yang mengetahui. Tapi minim kesadarakan dari para pemimpin.
Permendikbud nomor 30 kononnya mau memperbaiki kehidupan seksual kampus. Tapi nanggung. Justru “bunuh diri”.
Kasus yang banyak terjadi itu adalah free seks. Melakukan aktivitas seksual non-marital dengan paradigma consent. Saling bersetuju. Suka-sama suka. Pelanggaran berupa pemaksaan seksual itu ada. Namun lebih banyak yang bahaya yang free seks dengan paradigma consent.
Mengatur dan menghukum pelaku pemaksaan seksual itu benar. Bagus. Tapi yang salah adalah menyetujui mahasiswa dan mahasiswi melakukan seks non marital dengan saling suka sama suka.
Bukan menuduh Permendikbud nomor 30, tetapi memang Permendikbud ini tertulis jelas bahwa seksual consent itu tidak masuk peraturan. Justru terang-terangan tertulis “tanpa persetujuan korban”.
Makanya, permendikbud nomor 30 itu keliru secara paradigmatik. Salah memahami apa itu yang dimaksud pelanggaran seksual.
Bagi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, saya kira sangat jelas. Seks bebas itu pelanggaran. Aktivitas seksual tanpa perkawinan, baik dipaksa atau dengan berstetuju, itu pelanggaran. Alias kejahatan.
Jika dilihat dari kacamata agama Islam pelakunya kena hukuman hadd. Termasuk kriminal.
Maka, selamatkan moral kampus di Indonesia. Jangan biarkan paradigma sekular menghantui pikiran insan kampus. Sebab, paradigma ini biang kejahatan seks.
Kampus-kampus di Barat negara sekular, free seks sudah lumrah. Indonesia itu negara bertuhan. Bukan barat yang sekular. Maka tidak perlu membebek.
Insan kampus harus kritis dengan cara pandang sekular. Beserta konsep-konsep yang lahir darinya. Seperti paradigma seksual consent ini. Selamatkan kampus kita!
***********
Penulis: Ahmad Kholili Hasib, MA
(Direktur Institute Pemikiran dan Peradaban Islam {INPAS} dan Dosen IAI Darullughah Wadda’wah Bangil)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)