Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan karunia-Nya hingga detik ini kita masih merasakan nikmanya iman dan Islam dalam diri kita. Menjadi bagian dari para pejuang agama-Nya, semoga kita senantiasa istiqomah dalam menebar cahaya Islam kepada seluruh ummat manusia.
Peradaban Islam adalah peradaban yang penuh dengan keemasan. Peradaban yang sangat panjang, lebih dari seribu tahun lamanya yang semuanya bermuara dari manusia terbaik yaitu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.
Sejarah perjuangan dalam menebarkan cahaya Islam telah memberikan banyak kemuliaan bagi para pengusungnya. Bermula dari Rasulullah, Para Sahabatnya, Tabi’in, Asbaut Tabi’in hingga para ulama yang ada diberbagai belahan dunia sampai pada Nusantara.
Memahami akar sejarah perjuangan para ulama dalam menebarkan cahaya Islam adalah sebuah kewajiban bagi para pejuang dakwah, karena sejarah adalah sumber inspirasi dan motivasi untuk tetap kokoh dalam langkah perjuangan. Karenanya, pada tulisan singkat ini akan mengulas salah satu Ulama Besar Indonesia atau Nusantara yakni Syaikh Abdus Shamad Palembang. Semoga kita bisa mengambil manfaat dan semangat dari perjalananya dalam memperjuangkan Islam.
Beliau adalah Abdus Shamad bin Abdurrahman Palembang Al-Jawy Al-Makkiy. Beginilah nama ayah beliau dalam versi literatur yang berbahasa Arab dan yang terdapat di beberapa buku Tsabat (kumpulan ijazah sanad riwayat). Adapun dalam versi Melayu, ada yang menyebut nama ayah beliau “Abdullah”, dan ada juga yang menyebut “Abdul Jalil”.
Dalam berbagai bukunya, Syekh Muhammad Yasin Padang menjuluki Syekh Abdus Shamad Palembang ini sebagai “Nazil Makkah Al-Mukarramah” atau seorang yang pindah dan menetap di Kota Mekah Mukarramah. Snouck Hurgronje juga menyatakan sebagaimana dalam Shafahat min Tàrikh Makkah bahwa beliau dahulu hidup di Kota Mekah.
Dari literatur-literatur berbahasa Arab tidak satu pun yang menyebutkan tahun kelahiran beliau, tetapi dalam literatur berbahasa Melayu disebutkan bahwa beliau lahir di Palembang pada tahun 1116 H atau sekitar tahun 1704 M. Dalam sumber tersebut disebutkan Juga bahwa ayah beliau adalah seorang sayid yang berasal dari Kota Sana’a Yaman, lalu hijrah ke Kedah dan menjadi hakim di Kesultanan Kedah. Setelah itu, beliau menetap di Palembang.
Sedari kecil beliau belajar ilmu agama pada ayah beliau yang merupakan seorang ulama di Palembang. Setelah dewasa beliau dikirim oleh ayahnya untuk belajar dan menuntut ilmu di Kota Mekkah. Beliau pun menetap di sana dengan menimba ilmu dari para ulama Haramain, di antaranya: Syekh Ibrahim Ar-Rayyis, Syekh Muhammad Mirdad, Syekh ‘Atha Al-Mishriy, Syekh Muhammad Al-Jaunariyah dan Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdiy.
Dalam perjalanan ilmiahnya, beliau sangat perhatian dengan buku Ihya Ulümiddin karya Imam Al-Ghazaliy, sampai-sampai beliau selalu mempelajari dan mengajarkan buku ini di berbagai majelis dan negeri yang beliau kunjungi. Bahkan, beliau kelak menelurkan berbagai karya tulis berbahasa Melayu yang merupakan terjemahan dari bahasa buku Ihya Ulùmiddin.
Mufti Negeri Zabid, syekh Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal yang juga merupakan murid dari Syekh Abdush Shamad Palembang mengisahkan dalam bukunya An-Nafas Al-Yamânf bahwa beliau pernah mengunjungi Negeri Zabid pada tahun 1206 H/1792 M. Saat itu beliau berusia sekitar 90 tahun. Informasi yang ditulis oleh Syekh Abdurrahman Al-Ahdal ini kemudian dinukil oleh Syekh Abdur Razzaq Al-Baithar dalam Hilyah Al-Basyar dan Syekh Muhammad Shiddiq Al-Bukhariy dalam Ar-Taj Al-Mukallal.
Hanya saja. Prof. Asyumardi Azra mungkin salah menukil tahun kunjungan Syekh Abdush Shamad ke Zabid karena beliau menuliskannya tahun 1201 H/1787 M, karena ini berbeda dengan pemaparan Syekh Abdurrahman Al-Ahdal yang saat itu (tahun 1206 H/1792 M) berjumpa dengan beliau. Lagi pula yang disebutkan Syekh Al-Baithar dalam Hilyah Al-Basyar adalah tahun 1206 H, bukan 1201 H.
Dalam perjalanannya ke Negeri Zabid itu, Syekh Abdush Shamad Palembang sangat dihormati, bahkan diberikan berbagai kesempatan memberikan kajian keilmuan. Syekh Abdurrahman Al-Ahdal saat itu membaca beberapa bagian buku lhyå Ulimiddin di depan beliau serta meminta ijazah sanad riwayat darinya. Beliau memberikannya ijazah sanad beliau dan menuliskannya dengan tulisannya sendiri.
Diantara informasi vang diberikan Syekh Abdurrahman Al-Ahdal ini adalah bahwa Syekh Abdush Shamad Palembang sangatlah zuhud. Meskipun memiliki kekayaan, tapi dia tidak pernah memandang bahwa dunia ini memiliki nilai di hadapannya. Beliau juga sangat lapang dada, baik dan selalu berusaha membantu orang lain semampunya.
Syekh Abdurrahman Al-Ahdal ini telah memuji beliau dengan ucapannya, “Beliau adalah syekh kami, Allâmah (ulama besar). Seorang wali yang berpemahaman luas, bertakwa. Beliau merupakan di antara ulama yang menerapkan ilmunya, dan menguasai berbagai bidang ilmu”.
Dalam Hilyah Al-Basyar, Syekh Abdur-Razzaq A-Baithar juga menjulukinya, “Ulama dan figur mulia yang tiada tandingnya, seorang wali yang takwa, serta seorang bijak yang suci.” Sementara itu, Syekh Umar Ridha Kahalah dalam Mujam Al-Mu’allifin menjulukinya, “Seorang ulama Sufi, yang menguasai banyak bidang ilmu”.
Syekh Abdush Shamad Palembang sangat tekun menulis berbagai karya tulis, khususnya karya tulis yang menerjemahkan buku Ihya Ulùmiddin dalam Bahasa Melayu. Snouck menyatakan, “Sungguh, buku-buku ulama ini (Syekh Abdush Shamad Palembang) termasuk buku agama yang sangat bagus yang muncul di Tanah Melayu”.
Syekh Abdush Shamad memiliki beberapa karya tulis, baik dalam Bahasa Arab ataupun dalam Bahasa Melayu, di antaranya:
1. Zahrah Al-Mufid fi Bayani Kalimah At-Tauhid (ilmu mantik dan teologi).
2. Hidayah As-Salikin fi Sulük Maslak Al-Muttaqin.
3. Siyar As-Salikin ilà “Tbadah Rabbi Al-‘Älamin.
4. Al-Urwah Al-Wutsqå wa Silsilah Al-Waliy Al-Atqáhá’
5. Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mu’minin fi Fadha’il Al-Jihad wa Karâmâh Al-Mujâhidin fi Sabililläh.
6. Zad A-Muttaqin fi Tauhid Rabbi Al- ‘Alamin.
Adapun mengenai tempat dan tahun wafatnya maka literatur berbahasa Arab tidak ada yang menyebutkannya. Hanya saja, Syekh Umar Kahalah dalam Mujam Al-Mu’allifin menyebutkan bahwa pada tahun 1206 H/1792 M beliau masih hidup. Tampaknya beliau menyimpulkan ini dari tahun kunjungan Syekh Abdush Shamad Palembang yang disebutkan oleh Syekh Abdurrahman Al-Ahdal dalam An Nafas Al-Yamâni. Data ini sedikit berbeda dengan pemaparan Prof. Azyumardi bahwa beliau wafat setelah tahun 1203 H/1789 M, setelah menulis buku beliau, Siyar As-Sålikin.
Azyumardi juga menukil dari “Tarikh Salasilah Negri Kedah” bahwa Syekh Abdush Shamad kembali ke Kedah dan ikut serta dalam peperangan jihad melawan Kerajaan Siam (Thai), dan syahid pada tahun 1244 H/1828 M. Lalu, beliau membantahnya, selain dengan alasan ketiadaan bukti dari sumber lain terkait hal tersebut, juga bahwa saat itu usia Syekh Abdush Shamad adalah 128 tahun (versi hijriah) dan 124 tahun (versi masehi), suatu usia yang terlampau tua untuk ikut berperang, dan beliau menguatkan pandangan bahwa Syekh Abdus Shamad wafat di Arabia, tepatnya Kota Mekah”.
Dalam beberapa Tsabat atau buku kumpulan ijazah sanad, disebutkan bahwa Syekh Muhammad Nawawiy Banten meriwayatkan Syekh Abdush Shamad Palembang ini. Bila ini benar dan sanad muttashil (bersambung) atau tidak munqathi (terputus) maka wafatnya Syekh Abdush Shamad tersebut adalah pasca tahun kelahiran Syekh Nawawiy Banten, yakni pasca tahun 1230 H/1815 M dengan usia lebih dari 114 tahun. Ini bila ijazah Syekh Abdush Shamad pada Syekh Nawawi lewat mukätabah atau permintaan ijazah sanad lewat surat, bukan berjumpa langsung.
Namun, bila ijazah sanad tersebut diberikan dengan bertatap muka langsung maka kita akan menyimpulkan dua hal:
1. Tahun wafatnya Syekh Abdush Shamad adalah di atas 10 H/1825 M atau di atas usia 124 tahun. Sebab, Syekh Nawawy Banten kemungkinan besar berjumpa beliau di Kota Mekah di atas tahun tersebut, lantaran Syekh Nawawiy berangkat ke Kota Mekah di masa remaja, yakni di atas tahun 1240 H karena Syekh Nawawiy lahir tahun 1230 H. Tahun ini hampir sama dengan data yang ada dalam buku “Tarikh Salasilah Negri Kedah” yang menyebutkan tahun 1244 H/1828 M adalah tahun wafatnya Syekh Abdush Shamad sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tetapi berbeda pada penyebutan tempat wafatnya yang akan disebutkan pada poin kedua berikut.
2. Analisis ini juga menunjukkan bahwa tempat wafat Syekh Abdush Shamad Palembang adalah Kota Mekah karena Syekh Nawawiy pada tahun 1240-an H tersebut masih mendapatinya di Kota Mekah. Ini berbeda dengan data dari “Tarikh Salasilah Negri Kedah” yang menyebutkan bahwa beliau wafat di medan jihad di wilayah Pattani, Thailand.
Ini adalah analisis saya dengan asumsi bahwa riwayat ijazah sanad Syekh Nawawiy Banten dari Syekh Abdush Shamad tersebut muttashil (bersambung) dan tentunya, hal ini memerlukan bukti kuat lain untuk membuktikan kebenarannya.
Semoga Allah menerima amalan beliau dan mengampuni segala dosan-dosanya serta menjadikan kita semua sebagai penerus dakwah dan perjuangan dakwah beliau.
Demikian kami susun biografi singkat dari Syekh Abdush Shamad, semoga menjadi inspirasi dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Nantikan Biografi Ulama-Ulama Nusantara lainnya yang akan diterbitkan rutin di website mujahiddakwah.com pada Jum’at pagi setiap pekannya. Terima kasih…
***********
Bersambung, Insya Allah…
Referensi: Buku 100 Ulama Nusantara Di Tanah Suci yang ditulis oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc., MA
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)