Dinamika pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD Takalar terhadap Orang Nomor satu di pemda Takalar terus bergulir. Hal ini disebabkan karena sikap DPRD untuk tetap melanjutkan pelaksanaan hak angket tersebut, sekalipun pelaksanaannya jamak dan mahfum dipahami telah mengalami cacat prosedur dan materil bahkan disuarakan oleh sebagian anggota DPRD itu sendiri yang masih memiliki kesadaran hukum yang baik (Legal Awereness) dan sikap penghargaan terhadap hukum (Act Under the law) dimana jernih melihat angket yang digulirkan tersebut bertentangan dengan regulasi panduan (kader wet) dalam UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD.
Secara konsepsional Regulatif, Hak angket adalah penyelidikan dibidang politik yang diberikan oleh negara kepada legislatif untuk menjalankan fungsi check and balance dalam pemerintahan agar tetap berada pada gravitasi tujuan bernegara dan visi penyelenggaraan pemerintahan daerah (rechtsidee).
Lebih lanjut, pengawasan tersebut untuk memastikan agar pemerintahan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan (detounement de pouiver) dan terhindar dari praktik praktik penyimpangan dalam kekuasaan sebagaimana kredo dari Lord Acton Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Namun, persoalan mendasar dan fundamental dalam pelaksanaan hak angket tersebut, bukan terletak pada instrumen hak angketnya sebab hak angket adalah atribusi kewenangan dari UU untuk mengawasi jalannya pemerintahan, tetapi soal utamanya terletak pada krisis legitimasi hukum dan krisis keabsahan pelaksanaan hak angket dan cenderung dipaksakan sebab secara gamblang menerabas ketentuan dalam UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018.
Padahal kita mengetahui bersama bahwa, dalam ilmu Konstitusi (Constitutional leer) dasar keabsahan dari suatu pelaksanaan kewenangan jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan kualifikasi preskripsi ketentuan hukum dalam objek terkait. Jikalau pelaksanaanya telah sesuai dan memenuhi preskripsi hukum barulah dapat dikatakan legitimate dan absah.
Rangkaian krisis legitimasi dan krisis keabsahan hak angket tersebut berlanjut pada hilangnya kepastian hukum (certainty) dan keadilan (justice) sebagaimana yang ingin dicapai dalam pelaksanaan hak angket tersebut.
Instansi ataupun orang yang dianggap berkepentingan untuk dimintai keterangan oleh Pansus hak angket atas alasan hukum juga bisa menolak untuk tidak hadir memberikan keterangan (In absentia above the law) sebab muara yang telah kehilangan kepastian hukumnya.
Kedua, tidak dibenarkan juga oleh hukum karena atas nama wakil rakyat dan kepentingan rakyat kemudian melakukan tindakan penyimpangan terhadap prosedur dan mekanisme hukum yang ada.
Justru penyimpangan terhadap prosedur dan mekanisme ditengah regulasi yang jelas itu wujud dari pengabaian dan kealpaan terhadap sumpah jabatan sebagai wakil rakyat untuk “melaksanakan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan sebaik baiknya dan selurus lurusnya……” sebagaimana yang termaktub pada pasal 369 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3.
Bahkan dalam parafrase regulatif UU MD3, demi menjaga marwah dan wibawa institusi terhormat DPRD sikap melampaui PP No.12 Tahun 2018 tersebut sebagai pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan dan mutatis mutandis melawan code of etics DPRD sehingga, secara normatif memenuhi syarat yang sifatnya alternatif untuk dapat diberikan sanks dari partai politik berupa pemberhentian antar waktu sebagaimana yang tercantum pada pasal 405 Ayat 2 huruf b.
Ini sebagai perwujudan sikap kesatria dan kewibawaan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk tetap berada diatas prinsip prinsip konstitusionalisme dan perhargaan atas negara hukum. Sebab kekuasaan yang tidak tunduk pada hukum sangat rentan untuk disalahgunakan, dan hukum telah menyediakan ruang untuk menghentikan dan menyelesaikannya sebagaimana yang terdapat pada UU MD3.
Semakin dipaksakan dilanjutkan pada episode ke episode hak angket DPRD kedepan ditengah krisis legimitasi dan krisis keabsahan, maka semakin nyata suatu upaya pertunjukan kekuasaan diatas hukum (show of power) dan oleh karena itu, partai politik sebagai platform demokrasi secara ideal harus menyelamatkan demokratisme hukum ini dengan mekanisme partai yang ditetapkan oleh regulasi yang ada (PAW).
Tempulah jalan yang benar dan terhormat untuk tujuan yang benar, bukan menerabas jalan regulasi yang telah ditentukan atas nama kepentingan rakyat, sebab Jalan (Prosedur) yang benar dan tujuan yang benar dua hal yang tidak bisa dipisahkan untuk mengukur ketercapain kehormatan dan kemuliaan tujuan bukan yang lain, itulah konsekuensi negara hukum yang demokratis (Demokratisme Hukum).
************
Makassar, 17 Oktober 2020
Penulis: Asrullah, S.H
(Koordinator Departemen Humas dan Jaringan PP LIDMI dan Pengamat Hukum Madani Institute CIS)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)