“Orang yang tidak sekular, orang yang selalu taqwa, orang yang selalu merasa diawasi Allah, orang yang selalu inget akhirat, gak akan mau menyengsarakan rakyat. Kalau dia jadi penguasa, pasti dia akan berbuat sebaik-baiknya, seadil-adilnya, tidak mungkin dia mau menzalimi rakyatnya, karena tanggung jawabnya besar di akhirat. Kalau seorang pedagang dia bertaqwa, dia belajar ilmu yang bener, ilmu yang sesuai dengan Islam, pedagang itu pasti jujur. Kalau seorang guru yang tidak sekular, dia yakin bahwa Allah mengawasi dia dan Allah cinta kalau dia mengajarkan ilmunya, pasti dia akan mengajarkan ilmu dengan ikhlas.
(Dr. Adian Husaini)
Tahun 1957, tatkala berpidato di majelis konstituante, Muhammad Natsir menyampaikan panjang lebar tentang bahayanya paham sekularisme. Tidak hanya itu, murid A. Hassan itu juga menjelaskan ciri ilmu sekular. Yakni ilmu yang dituntut sebatas untuk ilmu itu sendiri. Atau dalam bahasa beliau, “science for the sake of science”. Jika dikaitkan dengan bidang-bidang lain, kekuasaan hanya untuk bisa berkuasa, ekonomi sebatas untuk mencari untung, seni sekedar untuk keindahan, dll.
Artinya, semua aspek tersebut, menurut sekularisme, mesti dilepaskan dari agama dan campur tangan Tuhan. Sehingga apapun jenis, cara dan tujuan menuntut ilmu, meraih kuasa, melakukan jual beli, dan membuat karya seni, tidak perlu dan penting untuk dipermasalahkan, sekalipun harus bertentangan dengan agama. Sebab, bagi mereka, yang terpenting adalah bagaimana semua itu bisa membuat mereka mencapai tujuan-tujuan dunia.
Sebagaimana yang Natsir katakan, bahwa sekularisme adalah paham “la diniyah” (tidak beragama, meskipun belum sampai pada tahap ateisme). Lebih jelasnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas membuat istilah baru, yaitu paham “kedisinikinian”. Artinya, paham tersebut hanya memikirkan “di sini” (dunia) dan “kini” (waktu di dunia). Sebaliknya, tidak pernah tergambar oleh mereka tentang “di sana” (akhirat) dan nanti (waktu di akhirat). Mudahnya, paham ini menolak segala yang berkaitan dengan “di sana” dan “nanti”—yang intinya berkutat pada Tuhan, agama, wahyu, dan akhirat—untuk dibawa kepada segala urusan yang bersifat “di sini” dan “kini”. Sehingga muncullah dikotomisasi di setiap lini, khususnya yang berkaitan dengan institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bahkan, hanya karena bukan kampus atau sekolah yang berlabel Islam, agama dilarang dibawa dan kurikulum tidak diatur sesuai dengan wahyu Allah. Begitupula dengan ilmu-ilmu yang dianggap tidak berkaitan dengan agama. Hal ini bisa tampak pada saat pengajaran sains. Dimana semua yang terjadi di alam ini, hanya dikaitkan dengan sebab-sebab fisik saja. Mulai dari penjelasan seputar bencana alam sampai kepada penjelasan seputar pertumbuhan dari biji menjadi tanaman, seringkali semuanya dijelaskan berdasarkan sebab-sebab fisik semata. Pertanyaannya, “Apakah lempengan bumi punya kehendak sendiri sehingga terjadi gempa bumi?” “Apakah biji yang tumbuh mempunyai kehendak sendiri sehingga menjadi tanaman?”
Begitu juga dengan teori evolusi, teori kebutuhan primer manusia, dan teori tantang tolak ukur kemajuan suatu negara yang sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah. Semua ilmu itu membuang aspek wahyu, sehingga dibuatlah kesimpulan bahwa manusia dari hominid, sebangsa kera. Padahal, jika ditilik lebih jauh, teori ini sama sekali tidak ilmiah (yang mencakup observasi, hipotesa, eksperimen, dan kesimpulan), baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.
Sama halnya dengan teori kebutuhan primer manusia yang sama sekali tidak mengaitkan aspek jiwa yang bersifat metafisik seperti dzikir dan ibadah. Tidak lupa, teori terkait tolak ukur kemajuan suatu negara yang tidak mengaitkan taqwa sebagai bekal menuju akhirat. Akibatnya, dengan semua ilmu ini, setiap anak hanya akan menjadi peribadi yang jauh, tidak mengenal, bahkan tidak takut lagi kepada Allah. Saat itulah sekularisme sudah mempengaruhi cara berpikir dan pandangan alamnya, setiap kali memandang segala realitas yang terjadi.
Ilmu-ilmu sekular inilah yang menghalangi tujuan pendidikan di konstitusi, tepatnya pasal 31 ayat 3, yang menyatakan secara tekstual, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Realitasnya, iman, taqwa, dan akhlak mulai tidak lagi dijadikan tolak ukur dan standar kelulusan di setiap jenjang pendidikan.
Sebetulnya tidak ada masalah dengan ujian nasional. Hanya saja, konten yang disediakan dalam UN mesti berpusat pada aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia. Ujian nasional (bahkan sejak tingkat Sekolah Dasar) mesti fokus mengupayakan bagi setiap murid yang bergama Islam, minimal bisa mengaji, shalat dan thaharah yang benar serta mempunyai akhlak yang baik. Sebab, itulah ilmu yang fardhu ain. Namun, realitasnya, justru ilmu fardhu kifayah dan mubah (bahkan tidak jarang pula yang haram) yang justru difokuskan dalam UN sebagai standar kelulusan. Artinya, apa yang diwajibkan Allah tidak diwajibkan, dan apa yang tidak Allah wajibkan justru diwajibkan. Apakah mereka para perancang kurikulum lebih pintar dari Tuhan? Lagipula, bukankah kurikulum seperti itu yang justru mengkhianati amanat konstitusi?
Disamping itu, dalam Islam, baik ilmu fardhu ain ataupun fardhu kifayah, yang terpenting adalah bagaimana ilmu itu menjadi ilmu yang nafi’. sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali dalam kitab “Bidayatul Hidayah”-nya, bahwa ciri ilmu yang bermanfaat ialah membuat seseorang semakin takut kepada Allah. Bahkan tidak hanya itu. Menurutnya ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa membuat pandangan hati manusia jeli akan aib-aib dirinya, tidak membuatnya cinta dunia tapi justru cinta akhirat, hati-hati dengan tipu daya setan, dan sebagainya. Yang mana, semua cirinya bermuara pada satu hal, yakni bagaimana membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah.
Artinya, ilmu nafi’ meniscayakan wahyu, mesti mensyaratkan agama, mengaitkan akhirat dan mengikutsertakan Tuhan (yang dalam konteks ini Allah). Maka, disamping belajar ilmu shalat untuk mencapai ketaqwaan, begitupa tatkala seseorang belajar ilmu sains untuk semakin mengenal dan dekat kepada Allah lewat ayat-ayat kauniyah (alam semesta), ilmu politik untuk ibadah dan berdakwah, dan sebagainya. Yang mana semuanya berpusat pada tujuan-tujuan ilmu nafi’ dan 3 tujuan utama yang tertera dalam konstitusi. Jadi, belajar ilmu sains bukan sebagai sarana mengeksplitasi alam, belajar ilmu politik bukan supaya bisa berkuasa dan dihormati, dan belajar ilmu ekonomi bukan supaya bisa mendapatkan keuntungan yang besar (meskipun harus dengan cara-cara yang bertentangan dengan agama).
Kalau sudah begini, maka tumbuh sifat ihsan dalam diri setiap anak dan murid. Yakni mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah. Maka, merupakan suatu hal yang mustahil untuk menanamkan ihsan atau adab dengan ilmu sekular. Itulah mengapa Al-Attas menegaskan islamisasi ilmu terlebih dahulu. Dan dengan ilmu nafi’ pula, setiap anak akan mampu menjadi orang yang baik dan bermanfaat dengan ilmu yang dimilikinya, entah banyak ataupun sedikit.
Sebab, yang subtansi ada pada adabnya, bukan kuantitas dan kualitas ilmunya. Dan tentu, menjadi taqwa pasti menjadi insan adabi. Yakni mereka yang berbuat baik dengan beradab kepada Allah, Nabi, ulama, manusia secara umum, lingkungan, bahkan dirinya sendiri. Sebab, semua itu mencakup definisi taqwa: “mentaati semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.” Dan karena indikator ketaqwaan adalah jiwa, maka ilmu nafi’ juga mesti ditanamkan sebagai bentuk proses tazkiyatun nafs.
Di sinilah pentingnya setiap orang tua paham akan konsep ilmu dalam Islam dan konsep ilmu-ilmu kontemporer (dalam konteks ini sekularisme). Sebab, ilmu-ilmu sekular berpotensi besar merusak keimanan seseorang. Dimana ia akan semakin jauh, lupa, dan tidak mengenal Tuhan, agama, dan akhirat. Kalau mengenal saja tidak, bagaimana mungkin mereka bisa takut kepada-Nya? Maka, sekaranglah saatnya orang tua, guru, dan pemerintah untuk tidak berani melawan Allah dengan merancang kurikulum yang tidak sesuai dengan Islam. Sudah saatnya kurikulum di berbagai institusi pendidikan disesuaikan dengan tujuan pendidikan dalam Islam maupun konstitusi. Lagipula, kalau sudah syahadat, semestinya masuk Islam secara kaffah (total). Kalau dia masuk Islam, tapi tidak mau menerima ajaran Islam dan tidak mau diatur Tuhan (termasuk dalam pendidikan), pasti rugi.
Ingatlah, wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, adalah “iqra” (bacalah). Namun di ayat berikutnya disebutkan, “bismi rabbika alladzi khalaq” (dengan menyebut nama Tuhan-mu). Artinya, sejak diturunkannya wahyu pertama, aktivitas membaca pun sudah ditekankan untuk selalu dikaitkan dengan Allah. Maka, pembacaan yang dilakukan, mesti dalam rangka semakin mengenal dan mendekat kepada Allah. Tentu, yang dimaksud dengan “membaca”, tidak melulu soal buku, tapi juga alam semesta. Yang disitu mesti mesyaratkan perenungan dan pemikiran yang mendalam.
Sebagai penutup, Ustadz Adian mengatakan, “Orang yang tidak sekular, orang yang selalu taqwa, orang yang selalu merasa diawasi Allah, orang yang selalu inget akhirat, gak akan mau menyengsarakan rakyat. Kalau dia jadi penguasa, pasti dia akan berbuat sebaik-baiknya, seadil-adilnya, tidak mungkin dia mau menzaliminya rakyatnya.
Karena tanggung jawabnya besar di akhirat. Kalau seorang pedagang dia bertaqwa, dia belajar ilmu yang bener, ilmu yang sesuai dengan Islam, pedagang itu pasti jujur. Kalau seorang guru yang tidak sekuler, dia yakin bahwa Allah mengawasi dia dan Allah cinta dia kalau dia mengajarkan ilmunya, pasti dia akan mengajarkan ilmu dengan ikhlas.”
*************
Penulis: Fatih Madini
(Mahasiswa At-Taqwa College Depok, Penulis Buku dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)