MUJAHIDDAKWAH.COM, JAKARTA – Wakil Sekertaris Jenderal MUI Pusat KH. Muhammad Zaitun Rasmin menyampaikan tanggapan tentang Revisi Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebagaimana disampaikannya di acara Indonesia Lawyers Club pada Selasa Malam, (16/06/2020).
“Sebaiknya pemerintah juga berterima kasih kepada ormas, pesantren dan para tokoh yang telah bersuara. Karena dengan bersuaranya umat, pemerintah bisa lebih cepat ambil tindakan. Umat berharap, penundaan ini bukan sekedar sementara. RUU HIP harus ditolak karena memang tidak tepat. Umat beragama, terutama umat Islam merasa terusik rasa kebangsaannya,” ujarnya.
Ada dua hal yang perlu dicermati terkait RUU HIP ini terkait Pancasila yang akan direduksi sebagai Trisila lalu Ekasila yang kemudian pada akhirnya akan mulai secara perlahan akan di hilangkan.
“Di pasal ketujuh. Ini adalah persoalan yang sangat mendasar. Pancasila akan direduksi menjadi Trisila lalu Ekasila, ini jelas melemahkan sila pertama. Ini seolah menggiring pelan-pelan, awalnya diubah posisinya menjadi sila terakhir, selanjutnya untuk dihilangkan. Keempat sila, selain sila pertama, dulu relatif mudah diterima oleh para pendiri bangsa. Perdebatan panjangnya justru pada sila pertama,” lanjutnya.
Dalam pembahasan RUU HIP ini ada banyak yang mengganjal termasuk tidak di masukkanya TAP MPRS No. 25 Tahun 66 padahal ini sangatlah penting.
“Mengapa TAP MPRS No. 25 Tahun 66 tidak dimasukkan? Bagaimana sekian ratus anggota DPR tidak bisa mencium gelagat ini? Sedangkan rakyat biasa justru bisa melihatnya? Ibarat gajah di pelupuk mata tidak tampak,” tegasnya.
Sejumlah ormas Islam telah mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait RUU HIP, menyatakan dengan tegas menolak RUU HIP ini.
“MUI, NU, dan Muhammadiyah, satu bahasa dalam menolak RUU ini. Bagi kami, ini persoalan yang harus diseriusi. Tidak cukup sekedar ditunda atau diubah. Harus dicabut,” pungkasnya.
RUU ini sebaiknya ‘diaborsi’, karena bisa membahayakan ‘ibu’-nya. Berpotensi memicu persoalan yang lebih besar jika dipaksakan untuk tetap disahkan.
“Jika ada yang ingin membuka kembali perdebatan tentang lima, tiga, atau satu sila, maka jangan salahkan jika umat Islam juga akan memperjuangkan kembali “tujuh kata” itu! Padahal setelah tahun 1959 dulu, Umat Islam sudah mengalah dan menganggap perdebatan ini selesai,” imbuhnya.
Wasekjen MUI tersebut berharap agar DPR menolak RUU HIP ini agar tidak terjadi keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat, apatah lagi kita sedang berada dimasa-masa sulit seperti ini menghadapi Pandemi Covid-19.
“Mudah-mudahan dengan aspirasi dari masyarakat yang ada di Indonesia dapat mengetuk pintu hati DPR untuk membatalkan RUU HIP INI. Jika tidak ingin RUU ini menimbulkan keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat maka batalkan RUU HIP ini,” tutupnya.
Reporter: Muh Akbar
Editor: Admin MDcom