MUJAHIDDAKWAH.COM, ANKARA – Pakar media digital Turki mengatakan media sosial telah menjadi salah satu instrumen terpenting perang hibrida yang disebut metode perang generasi baru.
Menurut definisi umum, perang hibrida adalah salah satu strategi perang yang menggabungkan perang politik, perang konvensional, perang tidak teratur dan metode perang siber, termasuk berita palsu, diplomasi, penyalahgunaan sistem hukum dan intervensi pemilu asing.
Dalam wawancara eksklusif dengan Anadolu Agency, Ali Murat Kirik, seorang akademisi dan peneliti media digital di Universitas Marmara, Istanbul, mengatakan bahwa meningkatkan aktivitas manajemen persepsi dan rekayasa sosial di media sosial membuktikan bahwa itu digunakan sebagai alat perang.
Media sosial dan manipulasi
Menekankan polusi informasi di media sosial, Kirik mengatakan, sayangnya, kenyataan itu sudah hilang saat ini.
“Media sosial dapat membentuk persepsi dan mendesain ulang masyarakat. Ia dapat meningkatkan sensitivitas dan dapat mengeraskan reaksi dalam masyarakat. Apa pun dapat berubah menjadi kenyataan melalui media sosial dan masyarakat dapat menjadi bagian dari simulasi ini atau dunia buatan,” ujar dia.
Menurut Kirik, media sosial bisa memanipulasi realitas, oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk melemahkan administrasi, masyarakat, tentara, atau ekonomi suatu negara.
“Sebagai contoh; karena perang dagang antara China dan AS, kedua negara menggunakan media sosial sebagai medan perang dan menyebabkan banyak polusi informasi. Twitter dan Facebook mengumumkan bahwa mereka menghapus, memblokir dan menangguhkan sejumlah akun media sosial yang berbasis di China, tetapi hal yang sama tidak terjadi di AS,” tutur dia.
Media sosial, pemberontakan dan perang saudara
Menyoroti kekuatan manipulasi di media sosial, Kirik mengatakan pengaruh kekuatan media sosial dapat menyebabkan konflik internal, polarisasi sosial dan radikalisme.
“Konten manipulatif, terutama tentang isu-isu sensitif dan kontroversial di masyarakat, menyebabkan perselisihan dan konflik di platform virtual. Dan masalah ini, sayangnya, pindah ke lingkungan nyata,” lanjut dia.
Kirik mengatakan karena konten palsu, keliru atau manipulatif di media sosial, sebuah peperangan atau pertarungan terjadi antara negara dan masyarakat atau di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
“Bahkan jika kebenaran terungkap, sangat sulit untuk mematahkan persepsi salah atau kesalahpahaman. Karena orang ingin mendukung segala sesuatu yang mencerminkan pendapat mereka sendiri. Situasi ini menyebabkan penurunan kemampuan mempertanyakan orang. Oleh karena itu, kekacauan dipicu dalam masyarakat.,” ungkap dia.
Sang peneliti mengatakan protes yang dimulai dengan nama Arab Spring dan insiden setelah protes adalah contoh terbaik dari ini.
Menurut Kirik, rasa percaya masyarakat terhadap negara dan kelompok lain di masyarakat sengaja dihancurkan.
“Karena lebih mudah untuk menguasai alam bawah sadar orang-orang yang terpolarisasi atau teradikalisasi,” ujar dia, seraya menambahkan bahwa infrastruktur media sosial yang tidak terkendali menyebabkan situasi ini.
Mungkinkah memprediksi intervensi, operasi militer di media sosial?
Menekankan pentingnya data besar, Kirik mengatakan sangat mungkin untuk memprediksi apakah akan ada konflik, intervensi, atau operasi militer di suatu wilayah dengan mengikuti mobilitas di media sosial.
“Negara telah menggunakan media sosial secara luas untuk metode perang psikologis, seperti kampanye kotor dan propaganda, dan untuk mengambil intelijen instan dari area operasi. Dengan cara ini, negara tidak hanya mencoba membujuk masyarakat mereka untuk intervensi atau operasi militer tetapi mereka juga mencoba untuk memisahkan dan melemahkan masyarakat di negara-negara lawan,” ungkap dia.
Kirik mengatakan dasar kemungkinan perang atau intervensi dibangun di media sosial pada zaman modern.
“Misalnya, setelah cuitan Presiden Trump AS yang menargetkan Iran, Qasem Soleimani, Komandan Pengawal Revolusi Iran, dibunuh oleh AS,” tambah dia.
Menurut Kirik, jika gerakan-gerakan di media sosial ini dianalisis dengan baik, dapat dilihat negara mana yang berada dalam perang psikologis dan negara mana yang menjadi target selanjutnya.
“Masyarakat harus diajarkan literasi media digital untuk meningkatkan kesadaran terhadap media sosial yang saat ini digunakan sebagai alat yang efektif,” tegas dia.
Laporan: Fahri Aksut/aa
Editor: Muhammad Akbar