Pada hari Jum’at 29 Mei 2015 lalu, bertempat di Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, berlangsung diskusi yang mengambil tema “Islamisasi di Jawa. Data Etnografi dan Kuantitatif Kontemporer tentang Nama Arab ” . Diskusi ini diawali dengan presentasi hasil penelitian kuantitatif oleh Joel C. Kuipers antropolog asal Universitas George Washington Amerika Serikat. Dalam presentasi ini Kuipers memaparkan hasil penelitian yang dilakukan selama 10 tahun tentang nama-nama yang disetujui Arab di kalangan masyarakat Jawa. Dari penelitiannya ini banyak fakta menarik yang berhasil digali.
Nama sebagai Penanda
Penelitian tentang nama ini dilakukan dalam proses penyelesaian Islamisasi yang berlangsung di tengah masyarakat Jawa selama satu abad terakhir. Mengapa nama menjadi objek penelitian? Dan apa yang disetujui antara nama setuju Arab dengan Islamisasi? Tidak banyak orang yang berhasil mengubah atau mengubah dalam hal pengalihan nama yang sebenarnya bisa mengubah yang terjadi dalam masyarakat. Dalam perdebatannya dengan Islamisasi, diasumsikan sebagai yang paling menguntungkan Islam di tengah masyarakat Jawa dapat dilihat dari semakin banyak orang yang menggunakan nama-nama Arab. Kenapa demikian? Dalam konteks kehidupan masyarakat Muslim di Jawa berbahasa Arab dengan baik terkait dengan aktivitas ibadah, bahasa Arab juga merupakan bahasa Al Qur`an.
Nama-nama Arab di Tiga Daerah Jawa
Untuk membahas penggunaan nama Arab di Jawa, Kuipers membantu asistennya yang terdiri dari para peneliti lokal mengumpulkan data yang ditambahkan dalam basis data kependudukan di tiga daerah di Jawa yaitu Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta), Lamongan, dan Lumajang (di Jawa Timur). Ketiga daerah itu dipilih sebagai sampel untuk mewakili tiga wilayah Jawa yaitu Mataraman (Bantul), Pasisiran (Lamongan), dan Brang Wetan (Lumajang). Kuipers ikut timnya mengumpulkan data nama yang dikumpulkan dalam kurun waktu satu abad lebih dari tahun 1900-2010. Tim Kuipers lalu mengklasifikasikan nama-nama yang diperoleh ke dalam enam kategori yaitu nama Jawa murni, nama Arab murni, nama Barat murni, nama Jawa campuran, nama Arab campuran, dan nama Barat campuran.
Berdasarkan data-data yang telah diterjemahkan tersebut dapat dianalisis bagaimana perubahan yang terjadi dalam pola pemberian nama di kalangan masyarakat di daerah tersebut selama satu abad terakhir. Hasil, Kuipers menemukan fenomena yang sama di tiga daerah yang diperingkat lalu semakin mengurangi penggunaan nama-nama Jawa murni dan penggunaan konversi nama-nama Arab -baik nama Arab murni serta campuran- dari masa ke masa. Di Bantul yang mewakili daerah Mataraman ditemukan hingga 1980-an nama Jawa murni masih menentang, sebaliknya nama-nama Arab murni hanya sedikit berhasil. Namun, dirilis 1980-an hingga 2000-an-nama-Arab murni lebih banyak ditemukan saat-nama Arab-campuran-dengan nama Jawa, Barat, atau terletak- perlahan-lahan menjadi nama yang paling banyak ditemukan pada periode tersebut. Sementara itu di Lamongan dan Lumajang nama-nama Arab -murni dan campuran- sudah banyak ditemukan sejak awal abad yang lalu, tambah nama-nama Jawa murni. Memasuki dasawarsa 1990-an-2000-an-nama-Arab semakin jamak ditemukan di kedua daerah ini-nama-nama Jawa murni hanya tinggal sedikit sekali. Satu hal yang menarik di tiga daerah yang membahas nama-nama khas Jawa dengan awalan “Su-” (seperti Sumarno, Sunarto (untuk laki-laki) atau Sumarni dan Sunarti (untuk perempuan)) . Sementara di Bantul pada dasawarsa 1950-an-1970-an-nama-nama berawalan “Su-” sangat jamak ditemukan dan dapat dibilang menjadi nama yang dominan.
Penemuan lain dari penelitian ini adalah penyajian standarisasi nama yang digunakan. Nama “Muhammad” misalnya, pada dasawarsa 1980-an-1990-an makin banyak ditulis dengan ejaan “Muhammad” sementara pada periode-periode sebelumnya ada variasi variasi dari nama “Muhammad” antara lain “Mohammad”, “Mochammad”, “Mohamad” , “Mochamad”, “Mochamat”, atau disingkat “Moch.”, “Moh.”, Dan “Much.”. Demikian pula dengan nama “Aisyah”, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ini semakin banyak ditulis dengan “Aisyah” atau bahkan “A’isyah” semakin membolak-balik ke belakang menggunakan nama “Aisyah” semakin banyak ditemukan di antara lain “Aisah”, “Ngaisah”, atau bahkan tertukar dengan “Asiyah”. Di sisi lain ada pula yang menarik hibridisasi nama Arab, yaitu pencampur nama Arab dengan nama Jawa atau -dalam jumlah yang lebih rendah- Barat atau campuran ketiganya (Arab, Jawa, dan Barat) di tiga daerah dalam kurun waktu beberapa keluaran terakhir. Diperoleh dari seluruh periode yang diterbitkan nama-nama Barat di tiga daerah ini selalu sangat jarang ditemukan.
Nama Arab: Penanda Identitas Keislaman
Meningkatnya penggunaan nama-nama Arab di Bantul, Lamongan, dan Lumajang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tentu saja bukan suatu perbaikan. Dipertanyakan bahasa Arab identik dengan Islam tidak berlebihan jika disetujui penggunaannya nama-nama Arab di tiga kabupaten Jawa ini akan mengalihkan kesadaran akan identitas keislaman di tengah masyarakat. Menyandang nama Arab membuat orang terlihat lebih Islami -atau demikianlah harapan orang tua yang memberi nama keturunan. Tentang apa yang mendorong timbulnya kesadaran identitas ini, Kuipers menyatakan perlu mengadakan penelitian lebih lanjut, akan tetapi ia mengajukan sekurang-besaran dua hipotesis untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu timbulnya gelombang “mulai Islam” dimulai dari tahun 1980-an yang diterima Revolusi Iran dan semakin meratanya penyebaran pengetahuan Islam di Jawa, diperoleh dikumpulkannya ajaran agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Semakin terstandarisasinya ejaan nama-nama Arab -seperti pada kasus “Muhammad” dan “Aisyah” – juga bisa menjadi pertanda pengetahuan tentang bagaimana mencari nama Arab yang tepat yang berbanding lurus dengan meratanya terkait dengan pengetahuan agama di tengah masyarakat.
Yang Menjadi Pertanyaan kemudian, apakah meningkatnya Pemakaian nama-nama di Arab berbanding lurus DENGAN meningkatnya kesalehan ‘masyarakat tersebut -baik hearts dimensi hablum minallah maupun hablum minannaas? Penelitian Kuipers tidak berpretensi disetujui sampai sedalam itu, namun tentu saja kita bisa menjawab itu belum tentu memenuhi penggunaan nama-Arab sama artinya dengan menggunakan kesalehan masyarakat.
“Islamisasi” dan “Arabisasi”
Mencermati hasil penelitian Joel Kuipers tentang penggunaan nama-nama Arab ini menjadi menarik jika diperlukan dengan melibatkan di seputar wacana “Islamisasi” dan “Arabisasi”. Pembicaraan tentang “Islamisasi” dan “Arabisasi” memang kerap diwarnai silang sengkarut yang berpangkal pada ketidakjelasan dan tidak ada kesepakatan tentang pengertian konsep-konsep tersebut. Apakah penggunaan nama-nama Arab mencerminkan Islamisasi, Arabisasi, atau hubungan sangat tergantung dari makna konsep “Islamisasi” atau “Arabisasi” yang diperlukan. Kita pun harus kritis melihat makna “Islamisasi” yang dikenakan Joel Kuipers, yang hanya memakai ukuran-ukuran material dalam ganti variasi “Islamisasi.”
Di satu sisi memang melepaskan Islam yang sama sekali dari kearaban. Bahasa Arab -dengan segala nalar dan cita rasa bahasanya- sebagai bahasa Al Qur`an adalah kunci untuk memahami khazanah ajaran Islam. Untuk bisa menyelami kedalaman isi Al-Qur’an, siapa pun yang wajib betul-betul ingin juga menghayati bahasa Arab. Sementara kita mengerti bahasa itu salah satu dari budaya. Dengan demikian maka tidak boleh langsung untuk dapat memuat Al Qur’an, juga untuk Muslim, “mengarabkan” sendiri, Bukankah dengan menghayati sebuah bahasa lalu kita -sadar atau tidak mencelupkan diri kita dalam suatu budaya tertentu? Dahulu sebelum masuknya Islam negeri-negeri di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara yang kini menjadi negeri-negeri Arab -karena penduduknya membutuhkan Arab -bahwa negara Arab. Namun setelah penduduk negeri-negeri itu berbondong-bondong masuk Islam oleh berangsur-angsur akhirnya negeri-negeri itu menjadi negeri Arab. Kenapa demikian? Itu karena penduduk negeri-negeri yang ingin bahas Al Qur’an dan untuk itu mereka harus belajar bahasa Arab. Oleh karena cara paling mudah untuk berbicara tentang bahasa adalah dengan mengadopsinya sebagai bahasa sehari-hari maka merekapun menggunakan bahasa Arab dan akhirnya mereka menghubungkan anak cucunya menjadi orang Arab sampai sekarang.
Dalam tataran yang sederhana, pengadopsian nama-nama Arab dapat menjadi bentuk bagi masyarakat untuk menjadi lebih Islami. Secara gamblang Kuipers mengaitkan penggunaan nama-Arab di Jawa dengan Islamisasi, dalam artian semakin banyak orang di masyarakat Jawa yang semakin penting identitas keislaman yang lalu disimbolkan dengan penggunaan nama-nama Arab. Apakah ini dapat disebut sebagai Arabisasi? Ya, ia adalah bentuk Arabisasi namun sekaligus juga Islamisasi. Hanya saja, semua bentuk Arabisasi juga -atau sesuai dengan- Islamisasi? Jawabannya belum tentu. Dalam sesi diskusi, diumumkan peserta diumumkan bahwa orang-orang memberikan nama Arab kepada yang dapat mengerti arti nama tersebut. “Khoirul Munafiqin”, “Mar`atul Jahiliyah” (perempuan jahiliyah), atau Parjiyatun (dari kata “farji”, ingin ritual perempuan). Tentu saja memberikan nama-nama yang bertentangan dengan perintah Rasulullah agar orang tua memberi tahu anak-anak dengan nama yang baik. Dalam pernyataan para ulama tidak perlu menyebutkan nama yang baik harus dalam bahasa Arab sedangkan tentu saja dalam bahasa Arab sendiri harus sangat banyak kata yang baik yang bisa dibuat sebagai nama orang. Lebih dari itu, ada kasus orang-orang bernama Arab dengan arti yang lebih buruk, jelas berasal dari salah kaprah, semua hal yang berkaitan dengan Arab itu pasti baik dan Islami tanpa memahaminya lebih dalam.
Nama Arab Rasa Nusantara
Oleh sebagian besar orang, merebaknya hal-hal yang dapat dilakukan Arab-sedikit yang terkait dengan Islamisasi, walau tidak selalu demikian- dilihat sepenuhnya negatif, bahkan sinis. Putri mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, Marina Muhammad sebagai “Arab” adalah “bentuk” penjajahan budaya. Benar-benar klasik, sangat klasik, klasik, dan klasik. Belaka yang sangat subyektif dan tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Apakah masuknya pengaruh asing dalam budaya suatu bangsa bisa lebih baik dipahami sebagai penjajahan budaya? Bagaimana jika bangsa ini menggunakan kreatifitas luar agar bisa menjadi sesuatu yang otentik? Suatu hal yang keluar dari luar namun berbeda dengan bentuk di tempat asalnya dan akhirnya menjadi milik mereka sendiri.
Ini dapat dilihat dari laporan jumlah nama-Arab di Jawa yang membatalkan hibridisasi dengan nama-Jawa (misal Ahmad Purnomo, Anwar Haryono, Nur Aini Setiawati, Sinta Nuriyah dsb). Hibridisasi ini membuktikan bahwa Muslim Jawa memiliki kreativitas untuk memadukan motif luar dan “budaya lokal” yang kemudian menghasilkan sesuatu yang otentik alias khas Jawa. Di sisi lain nama-nama Arab murni yang dikeluarkan di kalangan Muslim Jawa dikeluarkan kerap di telinga orang Arab sendiri walau artinya baik. Di kalangan Muslim Jawa-dan-Muslim Indonesia pada umumnya-nama-nama seperti Burhanuddin (pembuktian agama), Zainuddin (perhiasan agama), atau Syamsul Arifin (matahari orang-orang arif) Nama Arabasma ). Di negeri-negeri Arab nama-nama ini adalah laqob ( gelar ) yang diberikan kepada seseorang yang memiliki sifat atau kelebihan tertentu yang menonjol pada diri sendiri.
Yang juga menarik di kalangan Muslim Jawa berlatar belakang pesantren banyak yang menggunakan nisbah nama-nama para ulama sebagai nama diri (misal Bukhori, Nawawi, Ghozali, Dimyathi, Suyuthi, dll), hal mana yang tidak akan kita temukan di masyarakat Arab. Yang lebih unik lagi, tidak jarang orang Jawa Muslim berlatar belakang pesantren menamai dengan judul buku-buku kuning seperti “Sullamut Taufiq” (buku akidah dan fikih), “Fathul Qorib” (satu buku fikih mazhab Syafi’i), ” Fathul Bari ”(kitab syarah Shahih Bukhari), dan sebagainya. Ini pun tidak dikenal dalam masyarakat Arab sendiri. Mereka menamai anak-anak dengan judul buku kuning Biasanya beralasan itu adalah bentuk kata tabarrukan ataungalap barokah dengan harapan berkah ilmu yang terkandung dalam kitab-kitab yang mengalir pada anak-anak mereka.
Jika memenangkan dengan tradisi masyarakat Jawa, memang biasanya orang-orang Jawa yang terdidik menamai anak-anak dengan nama-nama yang mengandung nilai harapan yang sangat tinggi. Ini bisa dilihat dari nama-nama kaum priayi seperti Joyokusumo, Joyodiningrat, Atmokusumo, Singonegoro, dan sebagainya yang mencerminkan harapan akan menghargai dan meningkatkan martabat. Dalam konteks ini, penggunaan nama-nama Arab yang diambil dari laqob, nisbah nama ulama, atau judul buku kuning di kalangan santri Jawa secara paralel dengan penggunaan nama-nama Sansekerta atau Kawi (bahasa Jawa kuno) di kalangan priayi. Kedua-duanya sama-sama menunjukkan persepsi orang Jawa tentang arti penting nama demi harapan. Menurut Kuipers ini adalah fenomena khas Jawa yang tidak selalu ditemukan di tempat lain. Ia mencontohkan di Pulau Sumba dan bahkan di Barat. Dengan demikian dapat membantah bahwa pola pemakaian nama Arab di tengah masyarakat Jawa memiliki kekhasan yang membedakannya dengan pola pemakaian nama Arab di masyarakat Arab sendiri. Pola pemakaian ini dapat disebut sebagai bahasa Arab ala Jawa atau ala Nusantara.
Pada akhirnya fakta bahwa banyak orang Jawa menamai dua dengan nama-nama Arab yang memiliki arti yang baik -betapapun nama itu terdengar di telinga orang-orang Arab- yang menunjukkan bahwa Islamisasi dan Arabisasi memang berjalin berkelindan satu sama lain yang memang terbukti cocok. Di sisi lain, fakta bahwa orang Jawa mengubah, mengadaptasi, dan juga menghibridisasi nama-nama Arab menunjukkan apa yang disebut Arabisasi itu tidak berjalan satu arah. Alih-alih pindah menjadi konsumen pasif -yang bisa ditiru sebagai bentuk “keterjajahan budaya” – Muslim Jawa mengolah semua bentuk nama-nama Arab menjadi sebuah pengungkapan diri yang didukung.
************
Penulis: Adif Fahrizal
(Alumnus S2 Sejarah Universitas Gajah Mada)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)