Kerajaan Peurlak adalah Syi’ah?
Salah satu pendapat yang mendapat perhatian adalah opini ulama dan budayawan Aceh, Prof. Ali Hasjmy. Dia menyatakan bahwa Peurlak adalah kerajaan pertama Islam di Nusantara dan penganut Syi’ah. Menurutnya, Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225H (840M), dengan Rajanya yaitu Sulthan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Shah. Kerajaan Perlak mulai berdiri setelah tiba di Angkatan Dakwah sebanyak 100 orang di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah dari Teluk Kambay di Gujarat pada 173H. Angkatan Dakwah yang menurut Hasjmy keturunan Bani Khalifah itu adalah para Amir dari Bahrain dan Qatar. Mereka adalah kaum Syi’ah yang memberontak terhadap Khalifah Makmun di Baghdad. Rombongan terdiri dari berbagai rombongan seperti Arab, Persia dan Hindi. Angkatan Dakwah kemudian diterima dengan baik oleh Meurah (Raja) Perlak. Bahkan salah satu anggota Angkatan Dakwah, Ali bin Muhammad bin Jakfar Shiddiq, seorang yang memiliki Ali bin Abi Thalib RA, kemudian menikahi putri istana, sehingga lahirlah putra campuran pertama yang bernama Saiyid Abdul Aziz. Beliaulah kemudian yang menjadi raja pertama Kerajaan Islam Perlak.[1]
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249H / 840-864M) inilah yang disebut raja pertama dan beraliran Syiah. Sampai kemudian dilanjutkan dua penerusnya, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (249-285H / 864-888M) dan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300H / 888-913M). Pada masa dinasti Syed Maulana Abdul Aziz Shah, masuk pula Ahlussunnah Wal Jamaah, sehingga masa akhir pemerintahan Abbas Shah terjadi pergolakan Sunni dan Syiah yang menyebabkan kekosongan kekuasaan. Di masa berikutnya, Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughayat Shah dikembalikan dan dimenangkan kembali oleh Sunni dan diangkat sultan dari golongan mereka, yaitu Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (306-310H / 928-932 M). Dinasti Makhdum ini berakhir pada masa Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (334-362H / 956-983M). Saat itu terjadi pemberontakan oleh Syiah. Maka Kerajaan Perlak dibagi dua, yaitu Perlak Pesisir untuk aliran Syi’ah. Dan Perlak pedalaman untuk Ahlussunnah.[2]
Ali Hasjmy, Kerajaan Perlak Pesisir di bawah Sultan Alaiddin Syed Maulana Mahmud Shah tahun 986 diserang oleh Sriwijaya hingga luluh lantak. Maka Kerajaan Perlak kemudian sepenuhnya dikuasai Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahaim Shah Johan Berdaulat yang berasal dari Perlak Pedalaman. Sejak akhirnya berakhir kekuasaan Syiah di Nusantara. Kerajaan Perlak kemudian menjadi Kerajaan Sunni. Kerajaan Perlak kemudian berakhir di setelah wafatnya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan Berdaulat (662-692H / 12631292M). Setelah wafat beliau, Sultan Muhammad Malik Al Dahir memimpin Perlak dengan Kerajaan Samudera Pasai.
Selain Ali Hasjmy, M. Junus Djamil adalah penulis yang mengungkapkan kisah yang hampir mirip . Baik Djamili maupun Prof Ali Hasjmy yang menggunakan manuskrip lama, halaman lepas dari sebuah kitab yang disebut berjudul Idzharul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi , karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy. Selain manuskrip lama, Prof. Ali Hasjmy menyebutkan bukti-bukti fisik terdiri dari uang yang disebutnya dari Kerajaan Perlak. [3]
Hadirnya komunitas Islam di Perlak memang memungkinkan, Meskipun demikian, umumnya Samudra dianggap sebagai kerajaan Islam pertama. Catatan perjalanan Marco Polo menguatkan pertemuan komunitas muslim di Perlak. Marco Polo yang berkunjung ke pantai Sumatera tahun 1292, mengatakan penduduk Perlak telah menganut agama Islam. Eskavasi bukti arkeologis di pantai timur sumatera, yaitu Kota Cina (Medan) dan Barus menurut Hasan Ma’arif Ambary juga menguatkan akan hadir artefak yang diperoleh dari Timur Tengah, menunjukkan data kronologi mulai abad ke 9M. [4] Di Barus, Ludvik Kalus juga menemukan artefak yang diperoleh dari abad ke 9M. [5]
Adanya bukti-bukti dari komunitas Islam di Perlak, bukan berarti membenarkan keberadaan kerajaan seperti pendapat Prof. Hasjmy dan M. Junus Djamil. Kedua pendapat diatas harus ditelaah dengan cermat. Baik pendapat Prof. Hasjmy dan Djamil dikritik, terutama karena mereka hanya menyandarkan pada sumber (yang disebut sebagai manuskrip tua), namun sangat diperlukan lagi keabsahannya. Menurut Hasan Maarif Ambary, melihat dari gaya penulisannya, manuskrip Idharul Haq mendukung fakta yang diambil dari abad ke 18-19 M. [6]
Naskah Idharul Haq Mencoba sulit untuk dipercayai. Kelengkapan naskah ini pun diterbitkan tak jelas. Aceh, Drs. Nab Bahany As, yang disetujui membahas naskah tersebut, akhirnya dinyatakan sebagai buku tersebut tidak ada. Kajian arkeologi di Peurlak pun akhirnya menemukan bukti kerajaan tersebut. Bukti Fisik dari mata uang yang disebut oleh Prof. Hasjmy pun perlu dipahami keabsahannya, mengingat hal itu tidak boleh disebut-sebut oleh peneliti lain hingga saat ini. [7]
Azyumardi Azra juga menyatakan harus mempertimbangkan sumber lokal ( Idharhul Haq ) perlu dibandingkan dengan sumber lain, baik sumber lokal maupun asing. Kemudian Azra membantah ini karena setuju, menentang dengan dunia Islam saat itu, konfilk Sunni dan Syi’ah Rafidhi ( Ithna ‘Ashariyah ) belumlah menjelma menjadi pesaing idelogi dalam politik internasional. Konflik semacam ini baru terlihat setelah Dinasti Safawi berkuasa di Persia di abad ke 15. [8]
Jejak Ahlussunnah Wal Jama’ah di Nusantara
Bukti-bukti yang ada justru menguatkan kedudukan Ahlus Sunnah wal Jamaah di nusantara termasuk kala munculnya kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kehadiran Kesultanan Samudra Pasai, yang oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama, menunjukkan bahwa akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah benar-benar dipegang oleh masyarakat muslim di nusantara.
Berdasarkan catatan perjalanan Ibnu Battutah yang mengunjungi Kesultanan Samudera Pasai pada 1345, kita mendapatkan informasi bahwa Samudra Pasai, bertahta seorang raja yang alim, yaitu Sultan Malik Al Zahir yang bermahzab Syafi’i. Bahkan menurut Ibn Battutah, Raja Pasai itu menurutnya memiliki minat besar dalam perbincangan mengenai agama. Dan dapat kita simpulkan ketika Ibn Battutah berbicara dengan Al Malikus Zhahir, Sang Sultan berbicara dengan bahasa Arab.[9]
Tidak hanya itu, Ibnu Batutah juga menyatakan bahwa ia bertemu dengan ulama terkenal Samudera Pasai, yaitu Amir Dawlasa dari Delhi (India), Kadi Amir Sayyid dari Syiraz dan Tajuddin berasal dari Isfahan (Persia). [10]
Samudra Pasai kala itu memang menjadi pusat keilmuan Islam. Dari Samudra Pasai orang-orang, baik dari nusantara maupun dari luar nusantara berdatangan. Bahkan dari Pasai-lah Fatahillah, datang sebelum ia akhirnya melakukan dakwah ke pulau Jawa dan membangun kesultanan di sana [11]
Sebagai pendaftar yang mewakili Malik Sebagai Shalih, berinskripsi 1297. Di sisi lain, kita dapat menggunakan salah satu contoh menarik, yaitu raja-raja Pasai menggunakan gelar Malik. ( Raja Pasai berikutnya adalah Malikuzh Zahir). Gelar Malikush Shalih mirip dengan gelar penguasa di Damaskus, Malikush Shalih Ismail (1237-1238) dan gelar Malikuz Zahir mirip dengan gelar Sultan yang menguasai Mesir, yaitu Al Malikuzh Zhahir Baibars (1227). Menurut gelar Buya Hamka menunjukkan kuatnya hubungan Islam di Nusantara dengan mahzab Syafi’I. Hal ini membuktikan pula hubungan internasional muslim Nusantara dengan Arab dan Mesir [12] .

Syed Naquib Al Attas yang dengan argumennya mendukung para Kesultanan Samudra Pasai adalah Ahlul Bayt [13] (yang terkait dengan Ali bin Abi Thalib Ra) yang berakidah Ahlussunnah diminta telah hadir di nusantara sejak abad ke 9M. [14] Dari Samudra Pasai inilah kemudian pengaruhnya yang luas merambah ke Malaka, Kerajaan Aceh hingga daerah-daerah lain di Nusantara.
Akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang didakwahkan oleh para Ulama Pasai ke berbagai daerah menjadi bukti kukuhnya Sunni di Nusantara. Aceh, yang kemudian dikenal sebagai Mekah menjadi bukti berpusatnya akidah Ahlussunnah Wal Jamaah . Ulama-ulama aceh semacam Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, hingga Abdurauf Sinkili, Ar Raniry menjadi ulama-ulama yang menggantikan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dugaan – Dugaan Gegabah
Sayangnya, para ulama tasawuf aceh semacam Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai memulihkan memegang ajaran Syi’ah. [15] Dugaan ini tidak berdasar, karena Hamzah Fansuri sendiri pernah menolak ajaran Syi’ah dengan menyebut Syi’ah sebagai kafir. Dalam Asrar Al Arifin , ia menulis,
“Sebab inilah maka pada hukum syariat, Kalam [Allah] tiada makhluq. Adapun [kepada] mazhab Mu’tazilah, Rafidi (Syi’ah Rafidah, pen.) dan Zindiq, Kalam Allah (itu) makhluq. Pada hukum syiriatnya, barangsiapa yang mengata[kan] Kalam Allah makhluq, iaitu kafir –naudzubillahi minha!. Kalam Allah peri Zat; Qadim sama-sama dengan sekalian sedia ketujuh sifatnya…. Ini pun kata Qadim dengan kata isyarat juga, bukan dengan lidah dan suara. Jikalau dengan lidah dan suara, dapat dikatakan makhluq. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala Mahasuci, KalamNya pun Mahasuci dari lidah dan suara.” [16].
Begitu pula dengan Syamsuddin Pasai. Kerap diduga Syamsuddin Pasai adalah pemeluk Syiah, hanya karena mengikuti tasawuf Hamzah Fansuri. Tentu saja pendapat ini tertolak, karena kedudukan Syamsuddin Pasai sebagai ulama yang berpengaruh di Aceh jelas tidak memungkinkan dugaan tersebut. Menganggap pengaruh Syi’ah yang signifikan di Aceh nampaknya mustahil, mengingat pendapat Nurrudin Ar Raniry, yang mengatakan ulama Aceh mufakat menolak ajaran Syi’ah yang mencaci sahabat dan mengkafirkan Mu’awiyah.[17]
Seringkali kekeliruan mengandaikan Syiah terjadi karena menyamakan antara Persia dengan Syi’ah. Seperti yng sudah disetujui di atas, Persia dikirim ‘menjadi’ Syi’ah baru kompilasi Dinasti Safawi berkuasa di sana. Saat Dinasti ini menentang Syi’ah menjadi ideologi dan agama resmi negara, lalu dilakukan penindasan terhadap muslim Sunni. [18] Hingga ulama-ulama Sunni keluar dari wilayah tersebut. Maka dari itu Persia harus kita sikapi dengan cermat dan menolak kesimpulan ceroboh yang menyamakan dengan Syi’ah.

Pengaruh Persia di Nusantara
Sebuah contoh menarik, Yaitu DENGAN menilai raja-raja Malaka Yang memakai sedangkan gelar ‘Syah’ Beberapa Pendapat DENGAN gegabah menyimpulkan pengaruh Persia Syi’ah PADA kerjaan Malaka, KARENA Pemakaian sedangkan gelar syah. Tentu saja pendapat ini menyesatkan. Gelar Syah bukan (saja) milik Persia dan bukan berarti Syi’ah, seharusnya jika berasal dari Persia. Jauh sebelum Raja Dinasti Safawi, Syah Ismail, memakai gelar Syah , Kerajaan Khuwarazmia (berdiri 304H / 995M) rajanya disebut Syah. [19]
Kerajaan Khuwarazmia adalah keturunan Seljuk Turki dan bermahzab Hanafi. Di India, gelar Syah bukan hanya gelar kerajaan, namun juga gelar untuk ulama seperti Syah Waliullah Dhilawi. Rata-rata raja-raja MalakaSyah dibandingkan Dinasti Safawi. Namun, meskipun menyindir kesimpulan ceroboh macam ini, “… jika sekiranya aku seorang ‘chauvinis’ niscaya aku akan mengatakan itu Raja-raja Shafawi yang meminta raja-raja Melayu Malaka, bukan Malaka yang menirut Persia, karena itu Safawi mungkin muncul sebagai pengganti Malaka 100 tahun? ” [20]
Pengaruh politik Persia yang membekas di Nusantara, Kerajaan Kerajaan Malaka memang bisa dikenali, dari perdebatannya dalam Sejarah Melayu yang menyebut Iskandar Zulkarnain sebagai leluhur Kerajaan Melayu. Demikian pula riwayat Melayu yang disebut Bendahara Malaka, Mani Purindan sebagai pemenang ‘Nizam Al Mulk Akar Syah, dari negeri di Benua Keling . Tentu saja Nizam Al Mulk sebenarnya bukan dari negara di Benua Keling , tetapi Wazir dari Dinasti Saljuk Persia (wafat 1092), yang sangat berjasa membangun madrasah Nizamiyah Sunni yang sangat berguna. Rujukan ke Nizam Al Mulk ini juga mendukung buku Melayu berjudul Taj As-Salatin(1603). Sebuah buku panduan bagi penguasa, yang sebagian besar mendukung sebuah buku asal Persia, yaitu Siyasat Al Mulk , karya Nizam Al Mulk. [21]
Pengaruh Persia lainnya adalah pandangan penguasa Melayu tentang diri dan kekuasannya, yang mencerminkan raja sebagai ‘Khalifah Allah di muka Bumi ( Khalifah Allah fi Al –Ardh ) atau bayangan Tuhan di muka Bumi ( Zill Allah fi Al-Ardh ). Namun, pandangan itu bukan pandangan Syi’ah, tetapi menentang Sunni dari Arab yang telah mengubah Persia. [22] Pengaruh-pengaruh Persia (bukan Syi’ah) ini memang nyata di Nusantara, namun kompilasi Dinasti Safawi menguasai Persia, Dinasti Safawi (Syi’ah) nyatanya tidak serta merta menjadi rujukan juga bagi umat Islam di Nusantara. Alih-alih, menurut Marrison, memengaruhi Hadramaut-lah, yang kemudian mendorong perubahan Persia di Nusantara. [23]
Pengaruh Persia di Nusantara, terlihat pula dalam hal tasawuf, bahasa dan sastra. Seringkali tasawuf di Nusantara dipersiapkan sebagai perbedaan Syi’ah. Seperti yang sudah kita bahas, Para sufi termasuk kelompok yang mentransfer Islam di Nusantara. Menurut AH Johns, merebaknya intensitas Islamisasi di Nusantara selepas abad ke-12, tak lepas dari peran para sufi. Ketika jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol, ikut berpencarnya umat Islam (termasuk para sufi) ke berbagai wilayah, termasuk ke Nusantara. [24] Menurut Azyumardi Azra, tasawuf menentang lebih berakar dalam tradisi Sunni yang menentang Syi’ah. Meskipun ada perbedaan, namun sangat jelas perbedaannya. Terlebih dalam konteks tasawuf yang disepakati di Nusantara. [25]
Pengaruh Persia yang lain yang membantah disalahpahami sebagai Syi’ah adalah dalam hal bahasa. Pendapat DJ Pijnappelembut kutipan kompilasi mengukuhkan argumen ini. Pijnappel menyatakan, menghitung kata-kata dan istilah Persia digunakan oleh umat Islam di Nusantara. Maka pastilah pengaruh ini turut mempengaruhi agama islam di Nusantara. Menurut Pijnappel, pengaruh itu dibawa oleh orang-orang arab yang singgah di pelabuhan Pesisir Persia dan India. [26]
Tak bisa dipungkiri, Persia telah memberikan variasi ke dalam kosakata bahasa melayu. Sesuai, menurut Abdul jabbar Beg, terdapat 77 kata asal Persia yang diserap ke dalam bahasa melayu., Seperti kanduri (kenduri), astana, bedebah, biadab, nahkoda, piala, kawin, nisan, takhta, Bandar, lasykar saudagar, pasar dan lain . Namun yang harus dipertimbangkan adalah, kata-kata tersebut masuk ke bahasa melayu melalui bahasa arab, misalnya seperti diwan (dewan), medan (madyan), firdawus (firdaus) atau kata, yang dalam bahasa parsi yang diminta raja, sedang dalam bahasa melayu menjadi wahyu Tuhan. Abdul Jabbar Memulai 230 kata Persia dipinjam oleh bahasa arab, yang kemudian meresap ke dalam bahasa Melayu. Selain itu menurut Alessandro Bausani, 90% kata-kata Persia itu merupakan nama benda, dan hanya 10% saja yang merupakan istilah kunci yang didukung atau paham keagamaan yang abstrak. Lagipula yang harus diubah, pengaruh Persia bukan berarti pengaruh Syi’ah.[27] Azyumardi Azra menyimpulkan,
“Pengaruh itu-jika ada-terbatas pada hal-hal yang lebih penting lahiriah, kebebasan beragama atau pemahaman dunia tertentu yang lebih mendasar. Dengan demikian, jelas agak naif jika orang berbicara tentang ‘pengaruh’ paham Syi’ah di nusantara. ” [28]
Syi’ah di Nusantara. Penjelasan tentang kedua hal tersebut mudah-bisa diselesaikan pada tulisan khusus. Namun yang perlu digarisbawahi adalah perlunya kriteria yang baku dan ketat untuk pembahasan Syi’ah atau diselesaikan sebagai jejak Syi’ah pada suatu masalah. Kriteria yang baku dan ketat untuk membatasi Syi’ah atau bahkan sebaliknya sebagai Syiah, dibutuhkan agar tidak sulit pada kesimpulan yang gegabah.
Pertama, Syi’ah yang disetujui adalah Syi’ah disetujui yang sekarang sangat disetujui dan sedang menjadi kontroversi besar. Yaitu Syi’ah Rafidhi ( Ithna ‘Ashariyah atau imam 12 atau Imamiyah) yang sekarang berporos di Iran. Syi’ah harus menyinggung ajaran imam 12 dan atau membantah (termasuk di dalamnya caci maki) terhadap para sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Usman Ra. [29]
Amat gegabah jika ada fakta yang mengunggulkan Ali dan Fatimah, dan perasaan duka pada tragedi Karbala, lantas langsung menggolongkannya sebagai Syi’ah. Karena pengunggahan atau kecondongan terhadap Ali ra dalam membaca fakta sejarah bukan juga merta artinya pengi Syi’ah. Selama tidak ada pembicaraan imam, 12 atau caci maki dan lawan terhadap sahabat, bisa ditambah dengan merta kita simpulkan sebagai Syi’ah. Harus mempertimbangkan itu, awal mula mendiskusikan Syi’ah sejatinya adalah soal politik tanpa embel-embel teologis. Maka kompilasi kita temui fakta sejarah di nusantara yang condong kepada Ali Ra (dan bisa) bisa jadi kecondongan politik atau kecintaan pada Ali dan Keluarganya ( Ahlul Bayt). Istilah Ahlul Bayt sendiri bukan hanya Ali dan memerintahnya, tetapi juga keluarga Rasulullah, yang melibatkan istri-istri beliau, anak cucu dan kerabat dekat beliau dari marga Bani Hashim dan Bani Muttalib. [30] Oleh sebab itu sebagai Muslim, kita harus mengingat Ahlul Bayt . [31] Dalam hal inilah banyak penulis terperangkap pada kesimpulan yang menggampangkan dan gegabah.
[1] Hasymy, Ali. 1993. Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Peny. Prof Ali Hasymy. Al Ma’arif. Lihat pula, Hasjmy, A. 1983. Syi’ah dan Ahlussunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ambary, Hasan Ma’arif. 1993. Sejarah Masuknya Islam di Negeri Perlak Ditinjau dengan Pendekatan Arkeologi dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Peny. Prof Ali Hasymy. Bandung: Al Ma’arif.
[5] Kalus, Ludvik. 2008. Prasasti Islam yang Tertua di Dunia Melayu dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[6] Ambary, Hasan Ma’arif. 1993.
[7] Penelusuran terhadap manuskrip Idharul Haq yang dilakukan oleh Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH) di tahun 2013 hanya menghasilkan tangan hampa. Lihat “Penasaran dengan Izharul Haq, CISAH ke Peunaron” (http://misykah.com/penasaran-dengan-izhharul-haq-cisah-ke-peunaron/) dan “Nab Bahany AS: Tidak ada Kitab Izharul Haq” (http://misykah.com/nab-bahany-as-tidak-ada-kitab-izhharul-haq/) . DI unduh pada 1 April 2015.
[8] Azra, Azyumardi. 1999. Syi’ah di Indonesia: Mitos dan Realitas dalam Islam Reformis. Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Rajawali Pers
[9] Lee B.D., Rev. Samuel. 1829. The Travels of Ibn Batuta. London: The Oriental Translation Committee.
[10] Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra.
[11] Tjandrasasmita, Uka. 2009.
[12] Hamka. 1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam No. 31.
[13] Untuk penjelasan mengenai Ahlul Bayt lihat Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (ed). 2014. Teologi dan Ajaran Syi’ah. Jakarta: INSISTS
[14] Al Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011.
[15] Hasjmy, A. 1983. Syi’ah dan Ahlussunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Lihat pula Sofjan, Dicky. 2013. Kebangkitan Syi’ah di Asia Tenggara dalam Sejarah dan Budaya Syi’ah di Asia Tenggara (ed. Dicky Sofjan). Jogjakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.
[16] Rinaldi, Yogi T. 2014. ‘Sahabat’ dan klaim Syi’ah di Nusantara. http://jejakislam.net/?p=533 . Diunduh pada 3 April 2015.
[17] Iskandar, Teuku. 1996.
[18] Abisaab, Rula Jurdi. 2004. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. New York: IB Tauris & Co. Ltd. Lihat pula Perry, Ellis. 2010. The Rise of Shi’ism in Iran. Cross Section, The Bruce Hall Academic Journal. Vol 6.
[19] Bosworth, C. Edmund. 2009. Khawarzmshahs i. Descendants of the line of Anuštigin dalam Encyclopaedia Iranica Online. (http://www.iranicaonline.org/articles/khwarazmshahs-i) diunduh pada 4 April 2015.
[20] HAMKA.1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam Di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam No. 33.
[21] Marrison, GE 1955. Pengaruh Persia dalam Kehidupan Melayu (1280 – 1650). Jurnal Cabang Malaysia. Vol. XXVIII Pt I. Royal Asiatic Society.
[22] Azra, Azyumardi. 1999.
[23] Marrison, GE 1955
[24] Jones, AH 1961. Sufisme Sebagai Kategori dalam Sastra dan Sejarah Indonesia. Jurnal Sejarah Asia Tenggara, Vol. 2, No. 2.
[25] Azra, Azyumardi. 1999.
[26] Ibid.
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (red). 2014. Teologi dan Ajaran Syi’ah . Jakarta: INSISTS.
[30] Ibid.
[31] Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (red). 2014. Lihat pula Hamka. 2008. Tuanku Rao: Antara Fakta dan Khayal . Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
***********
Penulis: Beggy Rizkiansyah
(Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)