Membahas sejarah Syiah di Nusantara, tak bisa lepas dari diskusi masuknya Islam ke Nusantara. Sebuah perjalanan panjang merentang hingga lebih dari seribu tahun lalu. Silang pendapat antara peneliti, pelajari sejarah masuknya Islam ke nusantara.
Silang pendapat ini bahkan dibumbui oleh motif-motif politis dibalik pembahasan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Diskusi tidak hanya berhenti disitu, setelah masuknya Islam ke Nusantara, pindah kemudian bergeser, dari ‘masuk’, menuju ‘siapa’ yang membawa Islam ke Nusantara? Lalu pindah lagi tentang bagaimana mengembangkannya Islam di Nusantara. Dari sini lalu bercabang pertanyaan menuju Kerajaan Islam apakah pertama kali tiba di nusantara?
Masuknya Islam ke Nusantara.
Menampilkan teori tentang masuknya Islam ke Nusantara. Teori Anak Benua India merupakan yang digaungkan oleh Pijnappel dan. Hurgronje Pijnappelakukan sebagai Gujarat dan Malabar menjadi asal mula penyebar Islam di Nusantara. Sementara Snouck Hurgronje menyatakan bahwa penyebaran Islam di nusantara dilakukan oleh muslim Deccan. Namun Hurgronje tidak merujuk pada bagian selatan India yang ia maksud. Mereka adalah pedagang yang mengalihkan Islam pada abad ke 12. Kesamaan mahzab Syafi’I menjadi salah satu penguat argumen mereka. [1]
Teori Gujarat ini juga di dukung oleh Moquette yang mendasarkan pendapatnya dari seorang nisan Malik Al Shalih di Pasai (Aceh), khususnya yang bertanggal 27 September 1297 M. Moquette menggunakan batu nisan ini seperti batu nisan di Jawa, seperti di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822/1419). Itu dinyatakan sebagai batu nisan yang dikeluarkan dari Gujarat. Namun pendapat ini dibantah oleh SQ Fatimi. Menurutnya, batu nisan Malik Al Shalih berbeda dengan batu nisan asal Gujarat yang ditemukan ditempat lain di Sumatera dan Jawa. Batu nisan Malik Al Shalih lebih condong untuk batu nisan di Bengal. Dan Fatimi pun mengkritik teori batu yang dianggap mengabaikan batu nisan Siti Fatimah di Leran, Jawa Timur, yang bertanggal lebih tua, yaitu (475 H / 1082 M). Namun Fatimi yang menyatakan Muslim Bengal sebagai asal mula penyebar Islam menyetujui melewatkan faktor mahzab. Faktanya, di Bengal mayortias muslimnya bermahzab Hanafi. Tunjukkan teori Gujarat di yakini oleh banyak peneliti, seperti Winstedt, Vlekke, dan Schrieke.[2] Pendapat ini juga mengembalikan bukti-bukti keberadaan lalu lintas perdagangan sebelum abad ke 13 di nusantara dari negeri-negeri Islam. [3]
Keabsahan teori Gujarat semakin goyah dengan kritik yang Marrison. Menurutnya, meski batu-batu nisan tersebut berasal dari Bengal, atau Gujarat, bukan berarti tempat tersebut menjadi asal mula penyebar Islam di nusantara. Marrison menggoyahkan teori dengan fakta pada saat itu, kompilasi makam Raja Pasai, Malik sebagai Shalih yang berangka tahun 1297, menunjukkan Islamisasi di Nusantara yang telah berjalan. Sementara di Benua India, baru disetujui kemudian (1298) Cambay (Gujarat), ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Maka Marrison menolak menyebut Islam di Pantai Coromandel pada akhir abad k-13. [4]
Teori Coromandel ini didukung oleh Thomas W. Arnold dalam bukunya Preaching of Islam . Menurutnya, mahzab Syafi’I dan arus perdagangan Malabar dan Pantai Coromandel mendukung persetujuan ini. Namun demikian, Arnold menyatakan bahwa Coromandel dan Malabar bukan merupakan satu-satunya asal mula penyebaran Islam di nusantara, kecuali Arab. Menurutnya pedagang asal arab telah mengenal nusantara sejak abad ke 7 dan ke 8 Masehi. [5]
Buya Hamka menjelaskan dengan menarik, bahwa Coromandel dan Pantai Malabar adalah tempat-tempat persinggahan dari para Pedangang Arab. Orang Arab itu kemudian menetap di Malabar, mengislamkan penduduk, dan melestarikan bahasa Arab. Sebutan Malabar sendiri menurut Buya Hamka, berasal dari bahasa Arab Ma’bar , yang berarti ‘tempat lalu’. Tempat singgah orang-orang arab tersebut. Dan bukan hanya tempat singgah khusus orang arab, tetapi juga orang-orang dari nusantara. Di sana, menurut Buya Hamka mengutip Al Mas’udi, diabad ke 10 telah hadir 10 ribu orang yang berasal dari Arab, menerima Arab dan memiliki bergenerasi. Bahkan hingga abad ke 20, orang-orang Malabar tetap mengakui diri mereka orang Arab. [6]
Orang-orang Nusantara memang sudah dikenal orang-orang Arab bahkan sejak masa pra-Islam di Arab. Daerah Fansur di pantai barat Sumatera sebagai penghasil Kapur Barus, dikenal oleh orang-orang Arab. Kata Kapur sendiri oleh orang Arab dikenal dengan ‘Kafur.’ [7]
Peta perdagangan wilayah timur dan barat. Membuka wilayah mulai dari Mekah, Yaman, Malabar, Coromandel, Sumatera (Pasai), Selat Malaka, hingga Champa dan Kanton. Sumber foto: Andaya, Leonard Y. Daun di Pohon yang Sama: Perdagangan dan Ettnicity dalam perdagangan Melakka. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Bukti-bukti perkenalan Arab dan orang Nusantara lebih dari kukuh jika kita menyatukan juga pendapat-pendapat dari sumber lain tentang temuan Arab ini. Dalam kitab Ajaib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar tahun 397H / 1000M ini, mengisyaratkan eksistensi komunitas muslim lokal di Kerjaaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Ia meriwayatkan kedatangan pedagang muslim ke Kerajaan Zabaj. Ia menyebut para pedagang Muslim itu harus duduk ‘bersila’ kompilasi menghadap raja. Kata ‘bersila’ menurut Azyumardi Azra pastilah sedikit dari bahasa melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Riwayat ini juga mengisyaratkan adanya anggapan penganut Islam di Kerjaan Zabaj. [8]Kehadiran komunitas Muslim di Nusantara adalah sesuatu yang lumrah. Mengingat komunitas Muslim sudah memulai dengan Dinasti Cina sejak masa Dinasti Umayyah. Pada masa Dinasti Umayyah sendiri terdapat 17 duta Muslim yang dikirim ke Istana Cina. Tentu saja para pedagang Muslim timur tengah telah mengetahui pelabuhan-pelabuhan tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan.
Catatan-catatan tentang hal ini dapat kita lihat dari catatan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara CIna. Ia dari Kanton menuju ke Pelabuhan muara, sungai Bhoga (atau Sribhoga) yang sekarang dikenal dengan Sungai Musi di Palembang. Ia menuju Ibukota kerajaan Sriwijaya dengan menumpang kapal Arab dan Persia. Ada pula Yuantchao, dalam Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-louyang ditulis pada awal abad ke-9, diumumkan pada 99H / 717M sekitar 35 kapal persia sampai di Palembang. Seusai kerusuhan di Kanton, banyak Muslim Arab dan Persia – yang diusir dari Kanton – menuju Palembang untuk menemukan wilayah perlindungan yang aman. Sumber-sumber Cina lainnya menyatakan bahwa Muslim Arab atau Persia di Palembang (Sriwijaya). Bahkan yang menarik Abu Abdullah (yang oleh sumber Cina disebut P’u-ya-t’o-lohsieh) muncul secara resmi sebagai duta Arabia ( Ta-shih) pada tahun 995 dan 999M. Tak hanya di Sriwijaya, di Kalimantan, sebuah kerajaan meminta seorang duta bernama P’u A-li ke Istana Cina di bawah kekuasaan Dinasti Sung. Duta ini muncul sebagai pedagang Arab yang memiliki kapalnya berlabuh di muara sungai Kerjaan Kalimantan Barat, dan kemudian diterbitkan raja untuk memimpin delegasi duta-dutanya ke Cina. [9]
Berita-berita di atas menandakan Sriwijaya memiliki hubungan erat dengan Muslim Arab atau Persia sejak lama. Namun yang paling meyakinkan tentu saja surat-menyurat antara para Khalifah di TImur Tengah dengan Maharaja Sriwijaya. Surat Maharaja pertama diterima tahun 41H / 661M untuk Khalifah Muawiyah. Surat ini dikembalikan oleh Al Jahizh dalam Kitab Al Hayawan . Surat kedua adalah surat Maharaja Sriwijaya yang disampaikan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Surat ini ada dalam karya Ibnu Abdurabbih dalam karyanya Al-iqd al-Farid. Sang Maharaja menyampaikan sebuah pertentangan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan ia meminta tolong tentang siapa pun yang dapat membicarakan tentang Islam. SQ Fatimi memperkirakan surat yang diterima Khalfiah Umar bin Abdul Aziz pada 99H / 718 M. [10]
Kerajaan Sriwijaya yang memiliki intenitas persentuhan dalam Islam selama abad ke-7 atau 8, terus berjalan, seiring dengan padagang Arab yang mulai menetap di Sumatera. Membentuk komunitasnya, membaur dan menikahi penduduk lokal.
hadir dan berbicara muslim di nusantara, telah nyata dilihat sejak lama. Pendapat ini di sepakati dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara pada tahun 1980, termasuk Prof. Uka Tjandrasasmita pun memasukkan Islam yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7 M adalah muslim dari Arab. [11] Namun pertanyaanya, kini berayun menuju ke Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Lanjutkan ke tulisan Membedah Sejarah Syi’ah (bagian 2)
Catatan Kaki:
[1] Drewes, G. 1968. Cahaya Baru tentang Kedatangan Islam ke Indonesia? Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 124 No. 4.
[2] Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII . Jakarta: Grup Media Kencana Prenada
[3] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
[4] Azra, Azyumardi. 2013
[5] Arnold, Thomas W. 1913. Khotbah Islam, Sejarah Penyebaran Iman Muslim . London: Constable & Company Ltd.
[6] Hamka. 1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara . Gema Islam No. 31.
[7] Al Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011. Fakta dan Fiksi Sejarah. Johor Bahru: University Teknologi Malaysia Press.
[8] Azra, Azyumardi. 2013
[9] Ibid
[10] Fatimi, SQ 1963. Dua Surat Dari Maharaja Ke Khalifah, Sebuah Studi Sejarah Awal Islam di Timur. Studi Islam. Vol. 2., No.1. hlm 121-140.
[11] Tjandrasasmita, Uka. 1993. Proses Kedatangan dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia . Peny. Prof Ali Hasymy. Al Ma’arif.
***********
Penulis: Beggy Rizkiansyah
(Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)