Adakah pelajaran yang bisa kita ambil dari pembahasan zaman Nabi Salallahu’alaihi Wassalam pada usia kenabian? Mari membahas usia karya. Usia tugas. Bila kita melihat di awal tentang angka ini, ternyata Rasulullah dibuat oleh Allah untuk menjadi calon Rasul selama 40 tahun. Kemudian beliau berhasil selama 23 tahun lamanya. Itu berarti ada pelajaran yang mahal, itulah masa persiapan calon Rasul lebih lama dari masa tugasnya. Maka orang-orang besar atau orang yang ingin ikut serta, harus bersabar di masa persiapan.
Bersabarlah. Lipatgandakanlah kesabaran. Selama apapun persiapan itu, jika dipersiapkan dengan baik, maka insya Allah kita akan memetik hasil di kemudian hari.
Ketika Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Surat Thoha, “Perintahkan keluargamu untuk sholat dan bersabarlah pada hal itu.” Allah menggunakan huruf “tho” yang tidak lazim pada kata “washbir”. Karena berbicara dalam bahasa Arab, kata “bersabarlah” cukup dengan kata “washbir” yang diberikan dalam ayat-ayat yang lain. Namun di ayat ini Allah menyisipkan huruf “tho”, “wasthobir”. Bahasa ulama mengatakan bahwa ada tambahan huruf akan berubah maknanya. Setiap bertambah satu huruf dalam satu kata maka akan bertambah pula maknanya. Maka dari kata “wasthobir” salah satu makna utama yang besar adalah dia tidak boleh dengan sabar yang biasa, tapi sabar yang berlipatganda.
Saat kita menerima sholat keluarga, meminta sholat generasi kita, maka harus dengan penuh kesabaran. Bayangkan jika kita harus membayar mereka sampai mereka siap di usia baligh. Umpamanya anak baligh di usia 12 tahun, kemudian mereka mulai sholat usia 5 tahun atau 7 tahun. Maka kita harus menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam 5 hari sekali. Maka tinggal dikalikan. Betapa kita membutuhkan kesabaran berlipatganda. Tidak masalah jika ini adalah bagian dari persiapan itu. Mudah-pertimbangkan kelak kita memetik hasil.
Rasulullah memberikan Allah Subhanahu Wata’ala tugas selama 23 tahun menjadi Rasul. 23 tahun itu kita bagi menjadi 2. Pertama, marhalah Makiyyah. Kedua, marhalah Madaniyyah. Ada fase Mekah dan fase Madinah. Fase Mekah selama kurang lebih 13 tahun. Fase Madinah kurang lebih selama 10 tahun. Ini adalah 2 fase perjuangan Nabi Salallahu’alaihi Wassalam. Ini adalah 2 kota yang pertama kali memancarkan cahaya iman setelah bumi diselimuti oleh kejahiliyahan. Kota Hijaz namanya, yaitu Mekah dan Madinah.
Mari melihat petanya, sebuah tampilan yang besar sebelum kita dalami dengan detail satu pe satu siroh Nabawiyah tentang perjuangan Nabi. Karena perjuangan itu ada strateginya, ada urutannya. Tidak cukup hanya dengan semangat tetapi juga harus ada ilmunya.
Mari kita bandingkan isi Al-Qur’an antara ayat-ayat Makiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah. Membedakan perbedaan-perbedaannya. Para ulama telah memberikan kajiannya pada kita setelah mereka teliti. Dan sebagai konsep, urutan, cara mendidik. Itulah pendidikan Islam. Maka mari kita lihat beberapa poin penting.
Dalam fase Mekah salah satu ciri ayat-ayat Makiyyah lebih pendek tetapi suratnya banyak. Maka berbeda dengan surat Madaniyyah yang suratnya panjang tetapi jumlah ayatnya tidak terlalu banyak. Begitulah kita mengawali pembelajaran dari siapa pun. Bermula dari yang pendek namun sering. Saat sudah siap, nanti bisa menerima materi ayat atau kajian yang panjang. Namun demikian, semua ini memerlukan latihan dan proses. Bagaimana orang bisa berharap bisa berhasil tanpa harus melalui latihan?
Hal lain yang menarik di antara yang ada di dalam ayat-ayat Makiyyah adalah ayat tersebut yang mengandung cerita. Tapi tidak dengan ayat-ayat Madaniyyah. Karena ayat-ayat Makiyyah adalah ayat yang membangun pondasi akidah, akhlaq, dan memulai dengan kisah yang sangat banyak.
Berarti, kisah merupakan konsep yang sangat mahal, dan Islam tidak suka dengan dongeng. Islam yang diinginkan Allah dan Rasul adalah kisah bukan dongeng. Bukan kisah fiktif tetapi sejarah. Maka berkisah adalah salah satu konsep pendidikan Islam. Semua langkah kompilasi hari ini di kurikulum kita pada usia anak-anak, di usia awal mereka membangun pondasi, tidak ada kurikulum sejarah Islam. Tidak ada kurikulum yang menyusun konsep diri mereka. Yang membangun akidah dan akhlaq mereka. Atau kalaupun ada tentang kurikulum kisah, ternyata kisah fiktif. Atau hanya merupakan cerita dongeng negeri-negeri, wilayah-willayah yang tidak jelas kebenarannya, tidak valid darimana sumbernya. Sangat disayangkan. Sementara kisah merupakan konsep yang sangat mahal, yang merupakan dulu Rasul dan para Sahabat mendidik generasinya.
Dan ini ada di fase Makiyyah. Dan mengapa dengan berkisah? Karena berkisah merupakan sesuatu yang sangat penting orang. Tidak ada di antara kita yang tidak suka dengan kisah. Kita bisa duduk berlama-lama dengan kisah tetapi mungkin kita tidak bisa duduk berlama-lama dengan membicarakan tentang hukum. Tidak semua orang suka tentang itu. Maka dari pembahasan tentang hukum, pembahasan tentang beban syari’at, nanti di kota Madinah.
Pantas saja jika kita punya generasi yang dijejali dengan beban, umpamanya harus sholat, berbakti pada pertanggungan, membaca Al-Qur’an, silaturahim, shodaqah, dan semua hal mulia. Tapi jika tanpa pondasi maka itu hanya menjadi beban bagi mereka. Jika tanpa pondasi yang kuat maka mereka akan ambruk. Saat ambruk menyetujui kita akan terkejut. Kita akan berkata, “saya sudah mendidiknya dari kecil, pikir di zaman besar mengapa mereka berubah?” Karena kita tidak berhasil pondasinya. Ambilluklah bangunan Islam generasi kita.
Jadi, Konsep Mekah adalah konsep yang tidak sederhana. Sesuatu yang harus kita lalui dengan baik. Karena dengan penuh kasih kita dapat membangun pondasi, maka jika kokoh pondasi maka perlu menyediakan beban setinggi apapun. Dapat membangun gedung sehebat apapun. Bukan hanya gedung tinggi melainkan bangunan yang melewati awan di atas sana. Syaratnya, pondasi yang cukup, kokoh, dan layak.
Itulah yang dicontohkan generasi Islam di zaman Rasulullah dan para Sahabat. Di masa depan dan masa depan mereka, pondasi merupakan suatu keharusan agar mereka semua bisa membawa beban risalah Islam ini dengan penuh kenikmatan.
Fase Mekah juga dikenal dengan fase yang banyak berbicara tentang masalah akhirat. Tentang surga neraka, tentang masalah hari kebangkitan, yaumul hisab, dan seterusnya. Hal ini yang harus banyak dibicarakan di mereka, di usia-usia awal atau pada mereka yang baru belajar Islam. Sedangkan pembicaraan tentang hukum muamalah, beberapa hukum ibadah, bahkan hukum yang terlihat menakutkan-huduud-(yaitu hukuman dalam Islam) apapun bentuknya: cambuk, potong tangan, penggal kepala, diasingkan, dibuang, dan seterusnya, hukuman-hukuman itu baru dibahas nanti di Madinah ketika memang muslimin telah siap.
Maka kalau ada anak kita, atau ada orang yang baru belajar Islam, lalu tiba-tiba diajak berbicara tentang khilafiyah hukum, ini bukan merupakan cara yang bijak untuk belajar mendalami Islam. Karena khawatir mereka akan merasakan betapa tidak nyamannya Islam, betapa tidak nikmatnya Islam. Padahal Islam ini sangat nikmat. Islam ini adalah anugerah. Islam adalah sebuah kenikmatan. Ini baru bisa dirasakan bagi mereka yang memang memiliki pondasi yang cukup seperti Nabi yang diberi Allah ayat-ayat Al-Qur’an di fase Mekah.
Fase Mekah juga dikenal fase yang banyak berbicara tentang sekitar kita. Ini (hampir) tidak ada di Madinah. Fase Mekah banyak bicara tentang alam sekitar. Tentang matahari, bulan, langit, bumi dan yang ada di bumi, gunung, sungai, air, tumbuhan, binatang, dan seterusnya. Karena kita akan lebih mudah belajar ketika mengamati sekeliling kita. Karena itu terlihat betul (nyata) di sekeliling kita. Kita diminta untuk membahas tentang alam dan yang lainnya di sekitar kita. Lagi, ini kesalahan kurikulum kita hari ini. Anak-anak belajar IPA, biologi, geologi, astronomi, atau yang lainnya tapi sayangnya hanya berbicara tentang proses alam itu. Seakan kita tidak punya Allah.
Mana kurikulum Islam? Mana pendidikan Islam yang katanya menerapkan konsep Islam? Lihatlah Al-Qur’an, kita lihat ayat dalam Surat Qaaf.
“Dan kami turunkan dari langit air yang diberkahi.”
Bicara tentang hujan, air yang diberkahi dari langit adalah hujan.
“yang dengannnya Kami tumbuhkan kebun-kebun dan biji-bijian yang dipanen.”
Ayat ini bicara tentang masalah hujan dan fungsinya.
Masih bicara fungsi, tapi Allah mulai memberikan dengan sentuhan khusus, agar kita juga belajar lebih dalam yaitu tentang masalah “an-nakhl”, yaitu tentang pohon kurma. Ada apa dengan pohon kurma? Maka seharusnya ilmuwan Muslim hadir untuk melakukan penelitiannya. Pohon-pohon kurma yang mayang-mayangnya terlihat. Ini adalah fungsi bagaimana secara khusus Allah bicara tentang pohon kurma.
“… sebagai rizqi bagi hamba”
Ada sentuhan lain. Bicara tentang hujan, kemudian menumbuhkan, Allah berikan sentuhan “ini rizqi bagi hamba”. Semestinya rasa syukur hadir di hati kita kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Betapa tidak ada yang bisa menurunkan hujan kecuali Allah. Dan ternyata Allah memberikan itu sebagai rizqi bagi kita semuanya.
“Dan kami hidupkan negeri setelah matinya.”
Dan ini lagi-lagi tentang rizqi bagi kita.
“… begitulah nanti hari kebangkitan, hari semua dikeluarkan dari kuburnya masing-masing.”
Ada poin berikutnya, ini poin mahal. Setelah kita belajar hujan dan fungsinya, dan kita bersyukur, tiba-tiba ayat melompat, menyadarkan kita bahwa proses hujan yang menumbuhkan adalah proses yang sama dengan proses kebangkitan nanti. Bayangkanlah ketika bicara hujan langsung bersambung dengan iman pada hari akhir.
Di mana kurikulum pendidikan? Di mana konsep parenting hari ini yang menghadirkan konsep bicara tentang sekitar tapi dengan gaya seperti Al-Qur’an? Maka pantas saja dulu Al Qur’an menghasilkan orang hebat. Dan pantas kurikulum hari ini tidak melahirkan orang-orang yang beriman.
Ini adalah contoh-contoh pada fase Mekah, fase yang dilalui oleh Nabi Salallahu’alaihi Wassalam dengan penuh perjuangan.
Perjalanan kehidupan Nabi penuh dengan gangguan, dan bersabar selama 13 tahun membangun pondasi, merahasiakan kajian-kajian beliau, kemudian beliau terus bergerilya membaca Al-Qur’an, membuka hati manusia-manusia yang jahiliyah, dan sombong itu dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala. Hingga mereka mendapatkan hidayah. Perjuangan yang disokong penuh oleh orang yang dicintainya. Istri yang tak pernah ada penggantinya, Khadijah ra.
Mudah-mudahan ada yang bisa kita ambil hikmahnya. Agar kita bisa menyiapkan lebih baik lagi. Insyaa Allah kita akan pelajari lebih detail lagi tentang bagaimana persiapan itu dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala. Agar kita bisa membawa tinggi risalah Islam, seluruh beban Islam ini dengan penuh kenikmatan hingga Islam mencapai kebesarannya.
***********
Sumber: Artikel ini merupakan transkripsi dari podcast “Siroh Nabawiyah” oleh Ustadz Budi Ashari, Lc.
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)