Pada tahun 1955, saat Ir. Soekarno memberi kuliah umum di Universitas Indonesia tentang agama, ada analogi yang dia sampaikan yang biasa digunakan oleh orang yang berpaham relativisme atau pluralisme agama dalam membenarkan semua agama.
Soekarno dalam kuliahnya menggambarkan gajah dan empat orang buta. Masing-masing dari mereka diperintahkan menyelesaikan gajah dan kemudian mempersepsikannya sesuai dengan pandangan masing-masing.
Walhasil, semua yang dipegang sebenarnya ada sisi kebenarannya masing-masing. Karena itu, seusai menyampaikan kisah itu, Soekarno bertanya, “Nah, saudara-saudara. Siapakah yang benar di antara ke-empat orang buta itu? Jawabannya mudah: mereka semuanya benar-benar jawaban mereka berlainan. “
Sampai beliau pada kesimpulan, “Di Indonesia ada bermacam-macam agama, semuanya benar-benar seperti jawaban-jawaban orang-orang buta tentang gajah itu juga benar.” Benarkah pandangan Soekarno ini?
Bagi Prof. Rasjidi, pandangan dengan demikian benar. Melalui beberapa analisis fakta sejarah, apa yang disampaikan oleh Soekarno yang kemudian hari diamini golongan pluralisme agama, sangat rapuh dari berbagai sisi.
Apa yang dikemukan Soekarno dapat hal baru. Glassenah pernah menulis cerita dalam bukunya yang berjudul “Les Cinq Grandes Religions du Monde” (Lima Agama Besar Dunia) .
Ada juga cerita senada dari drama Lessing (1729-1781) –dalam karya oleh Dr. J. Verkuyl– yang menunjukkan semua agama sama. Diandalkan dikisahkan tentang cincin yang digunakan akan mendapat kasih sayang dari Tuhan dan manusia.
Pada generasi berikutnya, ada cincin pewaris yang memiliki 3 anak yang sama-sama dicintai. Akhirnya dibuatlah duplikasi dua cincin yang dikeluarkan akan diberikan ke babak hitam. Akhirnya, tidak diketahui mana cincin asli. Yang tahu hanya memberikan cincin. Jadi, mereka semua menganggap benar.
Inti dari kisah itu, tak perlu lagi mempersoalkan agama mana yang benar, karena setiap agama ada inti. Mengurangi diri hidup dalam masa di mana orang Eropa sudah tidak lagi memperhatikan intisari keselamatan Yesus Kristus akan melepaskan dan menggantinya dengan yang lain.
Ide penyamaan semua agama semacam ini juga pernah dilaporkan oleh Max Muller (1823-1900), demikian juga dalam “Paelemen agama-agama” di Kota Chicago tahun 1893. Juga mirip dengan penafsir yang berbicara mengenai sinkretisme Radhakrisnan (bekas Presiden India), yang intinya semua agama pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanya kulit luar, sedangkan subtansinya sama. Tidak ada agama Putaran; semuanya relatif. Agama hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan.
Kisah 4 gajah dan tiga cincin tadi sebagai gambaran tentang aliran yang ada di India yang mana banyak agama. Untuk menanggulangi bentrokan, maka ide penyamaan semua agama diseberluaskan.
Ide semacam ini juga muncul di Eropa pada zama modern. Kemudian tersebar luas dengan mengundang orang-orang Barat ke negara-negara lain seperti Asia, Amerika, Australia, dan Afrika.
Kata Rasjidi, dua cerita tadi (tentang gajah dan orang besar yang berasal dari India) membantah dengan kasta di India di mana orang terbagi-bagi menjadi sistem kasta: Brahman-Ksatria-Waesya-Sudra. Bahkan ada yang disebut golongan “tidak bisa”. Kalau benar semua agama sama, bahas kasta ini otomatis membantahnya.
Selanjutnya, untuk menunjukkan bahwa semua agama tidak sama, Prof. Rasjidi menunjukkan fakta yang terkait agama Katolik dalam perceraian. Orang yang sudah menikah, dilarang bercerai sampai mati. Sementara dalam Protestan, boleh bercerai. Ini artinya ada perbedaan. Dalam Islam pun, perceraian dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Di sisi lain, jika membandingkan masalah ketuhanan, dalam Islam ada konsep tauhid, keesaan Allah. Sementara dalam Kristen ada istilah trinitas. Dalam masalah utama seperti ini jelas ada perbedaan juga, jadi tak benar jika semua agama sama. Bahkan, kata Rasjidi, banyak yang berbenturan antara satu agama dengan agama yang lain.
Salib antara orang Kristen dan umat Islam, menunjukkan bahwa agama menyetujui sama. Bahkan, dalam tubuh Kristen, dalam sejarah juga ada perbedaan yang menimbulkan pertumpahan darah seperti Katolik dan Protestan yang dipimpin Martin Luther. Jika mereka sama, lantas Mengapa terjadi peperangan.
Masih banyak lagi contohnya pertentangan agama, seperti antara Belanda dan Spanyol, di Perancis juga yang menimbulkan banyak korban di mana 10.000 orang Protestan dibantai dengan sadis pada 1572. Yang semua pemicunya adalah karena agama.
Setelah menguraikan beberapa contoh tersebut, Rasjidi menyimpulkan, “Semua agama tidak sama, agama berbeda satu sama lain, berbeda berbaring. “
Lantas apa sikap kita agar perbedaan itu menimbulkan konflik? Rasjidi memberikan beberapa saran, diambil: “(1) masing-masing pemeluk agama memahami perbedaan agama; (2) Untuk membantah perbedaan itu, pokoknya harus dipertanyakan. Tolong, baik kata atau tindakan. ”
Dari uraian tadi, nyatalah itu –menurut Rasjidi — semua agama tidak sama. Untuk mengatasi konflik yang timbul karena perbedaan, maka perlu ditegakkan kembali membutuhkan agama. Tapi, bukan dengan menyamakan semua agama, atau menafikan prinsip agama masing-masing atas nama dialog.
*************
Penulis: Mahmud Budi Setiawan
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)