Pemeo ganti menteri ganti kebijakan rupanya sulit untuk dihilangkan di negeri ini. Semua sudah mafhum karena Anis Baswedan setelah dilantik segara mengambil kebijakan untuk dikeluarkan kurikulum 2013 dan dikembalikan ke kurikulum sebelumnya. Sebelumnya menuai protes, bahkan dari mantan menteri sebelumnya, keputusan ini kelihatannya sudah bulat. Sekolah yang sudah telanjur melaksanakan Kurikulum 2013 terus berjalan, yang belum kembali ke kurikulum sebelumnya.
Perubahan tentu saja berlaku pada semua mata pelajaran, tidak terkecuali pelajaran “Sejarah”. Dari segi politik kurikulum, pada Kurikulum 2013, mata pelajaran Sejarah mendapatkan persiapan lebih baik. Pelajaran ini masuk pada Paket A; yang berarti ini merupakan pelajaran wajib, terutama untuk SMA / MA / SMK. Sementara di tingkat SMP / MTs merupakan materi wajib dalam pelajaran IPS. Sebelumnya, yaitu pada kurikulum 2006 (KTSP), mata pelajaran Sejarah hanya menjadi mata pelajaran pelengkap; tidak diberi prioritas khusus. Dari segi ini tentu saja, Kurikulum 2013 sudah lebih baik dibandingkan dengan KTSP. Para palaku dalam pendidikan sejarah akan lebih mengutamakan kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.
Akan tetapi, baik menggunakan Kurikulum 2013 atupun KTSP sebenarnya harus menjadi perhatian kita pada materi ajarnya. Meskipun nyata pembelajaran akan sangat menantang pada guru yang mengajarkannya, namun di tengah guru minimalnya dengan ideliasme tinggi, diberikan untuk mata pelajaran seajarah, materi pelajaran ini akan menjadi pemandu utama. Seringkali berpikir-bahas tentang sejarah dan bahas dari para guru lebih ditentukan oleh materi-materi ajar dan rancang-bangun kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, masih cukup penting untuk membincangkan materi ajar dalam pelajaran sejarah berdasarkan Kurikulum 2013 atau KTSP. Pada pembahasan kali ini, penulis menggunakan bahan-bahan, baik kurikulum maupun materi pelajaran,on line.
Bila diingat, baik di KTSP maupun Kurtilas, perancang kurikulum bahan ajar sejarah sebetulnya tidak jauh berbeda. Tidak ada hal signifikan yang berubah, tetapi Kurtilas yang menginginkan perubahan. Kurtilah menghendaki agar pembelajaran dirancang untuk kompetensi peserta didik dari sisi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara keseluruhan. Keutuhan ini menjadi dasar dalam perumusan kompetensi dasar setiap mata, sehingga kompetensi dasar setiap mata pelajaran mengatur kompetensi dasar, kompetensi dasar kelompok pengetahuan, dan kompetensi dasar kelompok keterampilan. Semua mata pelajaran dirancang mengikuti rumusan tersebut. Cukup menarik kompilasi Kurtilas merumuskan kompetensi dasar yang diharapkan dari pembelajaran sejarah antara lain agar siswa dapat“Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.” Kompetensi ini tidak diperoleh dalam kurikulum sebelumnya (KTSP) yang dianggap terlalu menekankan pada masalah kognitif. Akan tetapi, lebih penting dibandingkan dengan kompetensi, bahan ajar dan arah yang diperlukan lengkap tidak perlu. Tetap masih sama.
Kesamaan materi ajar dan sasaran yang disetujui pada dua kurikulum yang konon tidak sama ini justru sebaliknya malah untuk perhatian penuh. Kesamaan ini menandakan ideologi dan paradigma sejarah di sekolah-sekolah di negeri ini tidak banyak berubah. Paradigmanya tertera jelas dalam tujuan pembelajaran umum sejarah, baik dalam KTSP maupun Kurtilas, yaitu untuk menciptakan sikap nasionalisme sebagai bangsa Indonesia yang membuat rasa cinta dari peserta didik sebagai warga negara terhadap bangsanya sendiri. Ini berarti tujuan pembelajaran sejarah yang belum bergeser dari tujuan politik negara yang mengingkinkan agar warga bangsanya sendiri menjadi bagian dari negara ini.
Ideologi dan pradigma pembelajaran sejarah tentang ini juga di dalam pembelajaran sejarah di negara manapun. Sebab, setiap negara memerlukan bagian yang menjadi bagian dari negaranya sehingga ia akan menerima dan membahas bagian dalam apa pun. Tidak ada negara di dunia ini yang tidak menginginkan hal tersebut. Akan tetapi, di dalam perbincangan Sejarah di Indonesia yang menjadi masalah utama adalah kompilasi negara “Indonesia” seperti apa yang perlu didukung itu. Pendefinisian ini sangat terlihat dari jalinan cerita sejarah yang dirangkai sejak awal hingga akhir cerita. Dari sini akan ditemukan masalah serius, terutama dalam hubungan hubungan negara ini dengan penduduk masyoritasnya yang beragama Islam.
Pembaca atau guru yang kritis dan jeli terhadap materi ajar sejarah yang dirancang dalam KTSP dan Kurtilas akan menemukan tantangan-realitas berikut. Pertama, ideologi sejarah yang dianut masih kental dijejali materialisme. Hal ini terbukti dengan masih berhasilnya bab tentang asal-usul nenek moyang Indonesia yang berasal dari manusia-manusia purba-Jawa seperti Pitecanthropus Paleojavanicus, Homo Wajakensis,dan sebagainya. Betapa pun fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran, Mojokerto, dan yang lainnya adalah hasil penggalian ilmiah, namun dianggap sebagai manusia Indonesia yang berasal dari fosil-fosil hanya karena sama-sama tergantung di wilayah Indonesia adalah tidak ilmiah sama lagi. Kalaupun dipaksakan untuk berhubungan, maka yang disambungkan adalah sesuai dengan keyakinan “ideologis” yang merupakan hasil dari pengembangan ini. Ini bukan keyakinan ilmiah, namun beberapa keyakinan yang didasari oleh kepercayaan tertentu, yaitu materialisme. Kepercayaan ini menganggap semua makhluk hidup berasal dari seuatu yang material, bukan berasal dari ketiadaan. Teori ini sangat terang benderang yang menolak keyakinan agama apa pun yang diperlukan semula yang berasal dari ketiadaan ( kreasi ex nihilo). Tuhanlah yang berperan sentral dalam diselenggarakan semuanya.
Bila dalam kurikulum sejarah, apa pun jenisnya, materi ini tetap disetujui, maka perlu usaha sejarah untuk membuat konsepsi tentang “nasion” Indonesia yang harus dicintai oleh warganya dimulai dengan cara-cara yang mengubah konsep dasar nagara ini yang dikembangkan dalam Pancasila Sila Pertama. Apakah negara ini adalah negara “beragama” karena ada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Bukan negara sekuler, melainkan negara materialis-komunis. Jika Sila ini masih konsisten dipegang, semestinya konsepsi tentang Indonesia yang akan diambil dalam pelajaran sejarah tidak boleh dimulai dengan bahan-bahan yang dibantah dengan agama.
Kedua, rangkaian jalinan kisah tentang lahir dan tumbuhnya Indonesia ini sengaja ingin meminggirkan peran Islam sebagai penentu dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa contoh tentang bagian ini. Dalam buku-buku ajar sejarah, baik versi KTSP maupun Kurtilas, masih tersimpan kisah-kisah tentang Sriwijaya dan Majapahit sebagai tonggak awal persatuan Indonesia. Dalam buku Sejarahuntuk SMA / MA kelas XI versi KTSP yang ditulis Dwi Ari Listiyani dan dibagikan secara gratis melalui internet masih dianggap sebagai Sriwijaya merupakan negara nasional pertama di Indonesia (hal. 19 dst.), sementara bercorak nasional di Majapahit, setelah Sumpah Palapa-nya Gajah Mada (hal. 31 dst.). Sementara itu, yang dianggap sebagai negera nasional tiga adalah “Republik Indonesia” yang diproklamasikan tahun 1945. Kesimpulan yang sama juga terlihat dari rancangan Kurikulum 2013 untuk pelajaran sejarah, sedangkan buku untuk kelas XI belum diterbitkan oleh Kemendikbud.
Jadi dalam proses yang menjadi model Indonesia seperti ini, jelas terlihat sesuai dengan ideologi anti-Islam yang cukup kalah. Betapa tidak? Menyebut Sriwijaya (Budha), Majapahit (Hindu), dan kemudian Indonesia (?) Sebagai satu garis kontinum kerajaan / negara nasional jelas bukan merupakan ketidaksengajaan. Ini adalah upaya yang sudah lama dilakukan oleh para Indonesianis asing (baca; orientalis) untuk menghilangkan pengaruh dan peran Islam dalam sejarah Indonesia. Mereka ingin mamaksakan teori mereka Indonesia ini bangsa yang sangat kuat oleh agama Budha dan Hindu. Meskipun saat ini Islam merupakan agama yang dianut oleh pendudukan Indonesia dan kerajaan-kerajaan Islam pernah bercokol lama di negeri ini, mereka menganggap Islam yang ada di negeri ini hanya sebagai pelitur. Ia hanya tampak di permukaan. Bila dikembalikan, maka segara tampak berwarna-warni, yaitu Hindu dan Budha.
Indikasi pengukuhan teori usang ini semakin terlihat saat penulis buku ini menulis sub-bab dengan judul “Kelanjutan Tradisi Hindu-Budha di Masyarakat”. Pada sub-bab ini diterbitkan kalimat berikut: “… Dengan demikian, kerajaan-kerajaan ini telah menyebabkan keruntuhan, tradisi-tradisi yang telah lama diselesaikan dalam masyarakat yang bertahan hidup dan lestari sampai sekarang.” (Hal. 46-47). Penulis buku ini dengan sangat yakin menyimpulkan budaya yang merupakan “budaya asli” Indonesia adalah pengaruh dari Hindu dan Budha yang sampai saat ini masih ada di Indonesia. Lantas bagaimana dengan Islam yang menjadi agama yang memanfaatkan?
Dengan begitu mudah penulis ini pada bagian selanjutnya membuat sub-bab berjudul “Akuturasi Kebudayaan Indonesia dengan Kebudayaan Islam” (hal. 56-58). Pada bagian sebelumnya tidak pernah dibahas satu bab pun yang membahas akulturasi kebudayan Hindu-Budha dengan budaya Indonesia, padahal agama ini pun merupakan budaya asing (India). Seolah-olah penulisnya berkesimpulan bahwa disebut “budaya Indonesia” adalah budaya yang menyetujui Hindu-Budha seperti mengklaimnya di atas. Sementara itu, Islam diposisikannya sebagai “benda asing” yang datang dan tidak terlalu penting bagi pembentukannya “Indonesia”, baik secara politik maupun secara budaya.
Kesimpulan seperti ini jelas sangat merugikan “Islam” sebagai agama yang diterima di negeri ini karena saat ini masih terus dianggap sebagai benda asing. Padahal, Islam sejak tibanya — kalau dipegang teori paling muda abad ke-13 — sudah paling tua di negeri ini. Bagaimana bisa masuk akal, agama yang sudah ada berabad-abad ini hanya dianggap “numpang lewat” dan tidak setuju sama sekali, selain dalam betuk akulturasi atau sinkretisasi? Padahal, Islam adalah salah satu agama misi (baca: dakwah) yang pasti akan melakukan proses “Islamisasi”. Sayang sekali, penulis kurikulum dan — diterbitkan — penulis buku ajar sejarah tidak memahami dengan baik apa esensi dari “Islamisasi” itu sehingga memandang Islam hanya dari segi penampakan materi luarnya. Mungkin ini juga yang muncul sejak awal ideologi yang dipegangnya adalah “materialisme.”
Jika memperhatikan contoh kasus di atas, sebenarnya yang dibutuhkan dalam sejarah ini bukan hanya tentang perubahan kurikulum, perlu paradigma yang benar-benar dalam menginterpretasi proses sejarah bangsa ini. Tanpa ini, akan ada perubahan yang signifikan dalam sejarah untuk tujuan apa pun, yang diperlukan untuk menanamkan nasionalisme yang benar-benar berdasarkan Pancasila yang memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini.
***********
Penulis: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
(Penulis Buku, Dosen dan Peneliti INSISTS)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)