Ada dua hadits yang perlu kita renungkan dalam-dalam pada zaman penuh tipuan (kebohongan) serta ghurur (omong kosong yang indah) ini.
Yang pertama adalah,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang membawa keraguan pada sesuatu yang membawa tidak ragukan.” (HR Tirmidzi)
Dan yang kedua,
Mengembalikan Jati Diri Bangsa
“Di antara menguntungkan islam seseorang meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi)
Para ulama bersepakat bahwa dua hadits di atas menjelaskan makna sifat wara ‘. Lebih dari dua hal yang menjadi ukuran kewara’an seseorang; Tinggalkan sesuatu yang meragukannya dan yang tidak menguntungkan. DR. Abdullah Azzam dalam kitabnya Tarbiyah Jihadiyah mengungkapkan bahwa “takwa dan wara ‘pada diri seseorang dapat dipahami pada saat menghadapi perkara-perkara syubhat. Manakala ketakwaan, kehati-hatian, serta kewaspadaan itu berjalan dengan kontinu, saat itu pula sifat wara ‘pada diri sendiri semakin meningkat dan tinggi. ”
Siapa sangka, siapa tahu tentang kehati-hatian terhadap segala hal baru yang masih terasa meragukan dan belum jelas maslahatnya terkait erat dengan takwa, sebuah kata yang berarti sebanyak 224 kali dalam Al Qur’an. Kenyataan ini bukankah lebih dari cukup untuk menjadi pegangan kita dalam setiap langkah di kehidupan ini.
Ujian Yang Hebat
Sikap wara ‘seseorang juga akan kesulitan ujian yang sangat hebat kompilasi mengatasi dua perkara; kedudukan dan harta. Maklum, dua perkara ini akan selalu dikejar oleh manusia, dipertanyakan tak pernah memberikan rasa puas hanya memberi rasa haus yang lebih menyengat, rasa haus inilah yang meningkatkan hati manusia yang bisa memperbaikinya bagaimana akan dihalalkan demi kehausan yang tak akan pernah terobati.
Terlebih lagi soal kedudukan, jumlah manusia yang terjerumus dalam jurang kebinasaan akibat ketamakan mereka terhadap kedudukan, kepemimpinan, atau kepemimpinan. Nyatanya wara dari emas dan perak terasa lebih ringan dari wara ‘melawan kedudukan. Alasan emas dan perak disetujui dikorbankan demi memenuhi syahwat manusia untuk tampak menonjol dan memimpin.
Berapa banyak harta benda yang habis dalam suatu pesta demokrasi, berapa banyak negara yang bertambah pada waktu-usai menggelar pesta demokrasi, berapa banyak kesengsaraan yang lalu-kesengsaraan yang baru harus ditanggung rakyat pada saat yang sama. Semua karena syahwat manusia segelintir terhadap jabatan serta kedudukan.
Oleh karena itu, seorang muslim harus berpegang teguh pada apa yang diyakininya sebagai kebenaran, dan harus senantiasa menentang perkara-perkara syubhat sampai datang kejelasan perkara tersebut. Janganlah seorang muslim berbicara tentang sesuatu yang tidak pasti kebenarannya, dan janganlah seorang Muslim berbicara tentang sesuatu yang harus dipastikan kebenarannya, apakah perlu membawa maslahat kompilasi disampaikan kepada khalayak.
Dan sikap wara ‘bekerja menghargai iman bekerja. Jika iman bertambah dengan ketaatan dan semakin berkurang kemaksiatan, maka wara ‘akan menambah kompilasi manusia menjauhuhi perkara syubhat dan juga mampu memperbaiki syahwatnya, dan akan mengurangi kompilasi manusia menceburkan dampak ke medan syubhat dan syahwat.
Potret Wara ‘Yang Terlupakan
Adalah Imam Nawawi, sang ulama madzhab besar Syafii yang tinggal, hidup, dan mati di Syam. Kendati demikian, dia belum pernah merasakan buah-buahan negeri tersebut. Dengan demikian, maka dia menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kebun-kebun wakaf yang hilang, dan aku khawatir makan dari harta wakaf tersebut.”
Potret kewara’an Imam Nawawi lainnya dapat kita jumpai pada saat dia harus berhadapan dengan Zahir Baibars, penguasa Syam saat itu. Untuk mengatur persentase untuk muslimin Baibars perlu dana yang tak sedikit, maka dia meminta para ulama agar memberikan fatwa yang menghimbau kaum muslimin agar menginfakkan harta mereka untuk membeli senjata.
Maka seluruh ulama Syam pun memberikan fatwanya, kecuali Imam Nawawi. Imam Nawawi pun menghadap menghadap Zahir Baibars. “Aku ingin melepaskan musuh-musuh Allah dan membawa wilayah Islam. Lalu mengapa menerima tidak mau memberikan fatwamu agar kaum muslimin mengumpulkan harta untuk membeli persenjataan? ”.
Imam Nawawi pun menjawab, “Sungguh, dulu datang kepada kami sebagai hamba sahaya yang tidak punya harta sedikit, sekarang aku melihat di sekelilingmu, ada pelayan laki-laki, pelayan perempuan, istana-istana dan sawah ladang yang luas. Sementara itu bukan hartamu, jika membeli itu semua untuk membeli senjata, lalu membawanya itu masih membutuhkan lagi, maka aku akan memberikan fatwa tentang kamu untuk mengumpulkan harta kaum muslimin. ”
Zahir berteriak karena marahnya, “Keluar berangkat dari negeri Syam.” Maka dia pun keluar dari Syam ke desa kelahirannya Nawa.
Tak lama setelah kejadian tersebut, para ulama negeri Syam berbondong-bondong bertemu Zahir Baibars dan berkata, “Kami tak punya wewenang apa pun tanpa persetujuan Muhyiddin An Nawawi.”
“Jika demikian dikembalikan, kembalikan dia.” Kata Zahir.
Kemudian para ulama ini pun membujuk Imam Nawawi agar kembali ke Syam. Namun beliau malah menjawab, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan memulai Syam selama Zahir masih di sana.”
Inilah sikap wara ‘, yang membuat hati mempertimbangkan gagahnya, menumbuhkan sikap keperwiraan dan memberi tahu kekuatan yang luar biasa. Hati yang membangkitkan sifat wara ‘adalah hati yang gagah, berjuang, kuat, dan perkasa.
Hati yang bergelimang syahwat dan syubhat adalah hati yang lemah dan sakit. Para pemilik hati yang lemah tidak akan banyak berkontribusi dalam pekerjaan iqomatuddien , membantah menjadi beban bagi yang lain.
Dan Allah pun mengabulkan sumpah Imam Nawawi, tak lama setelah Imam Nawawi membatalkan sumpahnya, Zahir Baibars mati. Maka kembalilah Imam Nawawi ke negeri Syam.
************
Penulis: Bang Azzam
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)