Anomali adalah penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya. Anomali juga sering disebut sebagai suatu kejadian yang tidak bisa diperkirakan sehingga sesuatu yang terjadi akan berubah-ubah dari kejadian biasanya, begitu Wikipedia menjelaskan.
Tahun 2019 penuh anomali. Dimulai dengan panasnya suhu politik sejak 2018, gerakan ganti presiden 2019, suasana memanas, berbelah menjadi dua kubu, pendukung petahana (Jokowi) dan pendukung gerakan ‘2019 ganti presiden’. Fenomena ini mengkristal, dari pusat peradaban Indonesia, Jakarta hingga ke pelosok-pelosok terpencil, pedesaan. Suasana semakin panas, sebab duel ulang dua jagoan kembali tersaji, Jokowi versus Prabowo. Di Jakarta, (8/3/2019) sejumlah kader Gerindra mendeklarasikan Prabowo sebagai calon presiden penantang Jokowi. Terjadilah apa yang terjadi, Prabowo sebagai penantang menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi) sebagai wakilnya, di kubu petahana, Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin.
Tanggal 17 April, Pilpres dan Pileg serentak digelar, hasilnya, Prabowo ketiga kalilnya kalah dalam Pilpres. Pasangan Jokowi-Ma’rup mendapat suara secara nasional 55,50 persen, Prabowo-Sandi 44,50 persen. Saling klaim kemenangan bermunculan, diduga kuat KPU tidak netral, disusul ratusan pegawai dan relawan KPU mangkat secara misterius. Merambah ke Bawaslu, juga dianggap berat ke sebalah petahana. Demo pun berlanjut, yang pada akhirnya korban berjatuhan.
Tepat tanggal 20 Oktober Jokowi-Ma’ruf ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Priode 2019-2024. Tiga hari kemudian, Prabowo resmi dilantik sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf. Itulah anomali.
Bagaimana dengan dunia ekonomi? Sejak priode pertama Jokowi ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla, salah seorang aktivis dan pendukung fanatiknya, Fajroel Rachman meminta agar seluruh rakyat Indonesia mengawal Jokowi supaya tidak ugal-ugalan dalam berhutang. “Ayo Indonesia. Kita kawal Presiden Jokowi untuk tidak menyelenggarakan Negara menggunakan utang. Cukup SBY utang ugal-ugalan,” kicaunya di dunia twitter.
Ketika tahun 2019 tutup, Indonesia sudah memiliki utang sebesar 5.614 Triliun. Terbanyak dalam sejarah bangsa ini, dan entah kapan bisa dilunasi. Dan khusus untuk Fajroel yang kini jadi Jubir Istana, patutlah kita bertanya, selama menjadi komisaris PT Adhi Karya dari tahun 2015-2019, terlihat pembengkakan utang cukup melangit. Tahun 2015 utang Adhi Karya tercatat hanya 11. 60 Triliun dan pada tahun 2019, ketika ditinggal naik ke level Jubir Istana utang perusahaan flat merah itu mencapai 23.80 Triliun. Siapa yang ungal-ugalan? Itulah anomali.
Dalam ranah pendidikan juga tak kalah heboh, setelah Nadiem Makarim dilantik oleh Jokowi sebagai Menteri Pendidikan, berbagai statemen dari Pak Menteri dianggap aneh. Misalnya, kita berada di zaman yang tidak membutuhkan ijazah tapi lebih memerlukan keahlian. Tentu saja banyak yang komplain, sebab untuk apa orang sekolah dari Sekolah Dasar hingga sekolah tingkat doktoral kalau ijazah tidak dibutuhkan. Lagi pula, kalau ijazah tidak dibutuhkan kenapa ada persyaratan dari Mendagri bahwa jika ingin jadi dosen harus lulusan magister dan doktoral. Begitulah anomali.
Jika dibandingkan dengan cukai, katakanlah cukai rokok. Setiap tahun pendapatan negara dari pajak rokok di atas 150 triliun. Tentu jumlah yang fantantis, walaupun subsidi kesehatan yang dibebankan kepada pemerintah juga cukup banyak, termasuk mengobati bagi perokok yang terkapar, aktif maupun pasif.
Dapat dipastikan bahwa para perokok mayoritas umat Islam sebab lebih dari 80 persen penduduk Indonesia adalah muslim. Anehnya, potensi zakat yang mencapai 300 triliun ternyata yang terealisasi hanya kurang dari 10 triliun. Artinya, baru tiga persen dari potensi yang ada bisa dikumpulkan. Sebuah anomali.
Tahun 2019 juga sudah diberlakukan pajak-pajak uang recehan di setiap warung-warung yang ada di jagad Indonesia Raya. Yang masuk warung kopi, minum kopi satu gelas seharga 15 ribu akan langsung kena pajak Rp. 1.500 atau sepuluh persen. Seakan sumber uang di negeri ini hanya ada lewat pajak dari orang-orang kecil.
Di lain pihak, perusahaan milik negara, PT Jiwasraya mengalami kerugian yang tahap awal diketahui berjumlah 13,8 triliun. Dan diperkirakan akan membengkak di angka 30 sampai 50 triliun. Patut saya bertanya, untuk mengumpulkan duit 13,8 miliar itu, harus memajaki berapa banyak warung dan berapa lama. Begitulah anomali.
Sama halnya golongan radikal, golongan dalam Islam yang menganggap diri paling benar. Memiliki surga pribadi, yang lain salah semua. Untuk menolong sesama muslim saja harus ditanya, apa manhajnya? Kalau Ahli Bid’ah percuma ditolong karena juga pasti masuk neraka. Golongan ini juga paling nyinyir terhadap lembaga zakat sekelas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang menerapkan zakat profesi.
Padahal zakat profesi sudah menjadi ketetapan pemerintah lewat ketetapan Baznas. Selain itu, profesi dan jenis pekerjaan saat ini terus berkembang. Banyak profesi baru terus bermunculan diiringi dengan munculnya ilmu pengetahuan. Secara adil, berkembangnya profesi jelas berimplikasi pada penghasilan. Tapi itulah anomali.
Terlalu banyak anomali, dan hidup ini memang penuh anomali. Tapi yang terpenting, bagi seorang warga negara Indonesia dan selaku umat Islam agar terus berbenah, memperbaiki diri, menjadi manusia bermanfaat. Hidup, jangan hanya memikirkan diri sendiri tapi berbuatlah untuk orang banyak, berkarya yang mampu dinikmati oleh generasi selanjutnya.
Sesungguhnya manusia itu akan menjadi buah bibir manusia lainnya setelah meninggal, maka jadilah buah bibir yang baik. Innamal-mar’u haditsun ba’dahu fakun haditsan hasanan liman wa’a. Selamat tinggal tahun anomali, selamat datang 2020!
************
Penulis : Ustadz Dr. Ilham Kadir, MA
(Peneliti MIUMI, Dosen, Pimpinan BAZNAS Enrekang dan Peneliti LPPI Indonesia Timur)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)