Situasi saat ini begitu nestapa. Satu per satu tokoh-tokoh dari partai yang dikenal sebagai partai berbasis Islam terperosok kubangan lumpur korupsi. Umat senang tak berdaya, hilang asa. Bagaimana mungkin para tokoh yang dikenal dari penjualan bisa terbuai bujuk rayu korupsi? Kesedihan umat Islam, bertentangan dengan tokoh sekuler. Mereka bernyanyi bersama mencemooh para tokoh, serta-tentu saja- menyudutkan Islam yang masuk ke kancah politik. Isu korupsi menjadi pisau menjagal Islam dalam politik.
Ini adalah bencana, karena pegiat partai berdasarkan Islam harusnya dibuat sadar bahwa mereka berpartai, mereka membawa bendera yang lebih besar, yaitu agama. Pengharapan rakyat lebih tinggi dari partai-partai lain. Wajar pula jika mata jeli tokoh sekuler sudah mengintai setiap gerakan-gerik partai Islam dan mencari cela dan celah sekecil apa pun, dan siap mencincangnya beramai-ramai. Inilah yang mungkin luput kita sadari. Apa daya, sekali lagi, kita malas menengok sejarah barang sekejap. Padahal salah satu partai Islam terbesar bernama Masyumi telah menorehkan perjuangan tinta dalam upaya membasmi korupsi.
Korupsi memang bukan barang baru di negeri ini. Karena diwariskan oleh pemerintah kolonial, korupsi menjangkiti kaum pribumi. Sementara kompilasi telah kita raih dari tangan penjajah, bau amis korupsi ternyata ikut melekat di tangan para politisi kita sejak dini. Karya semacam Korupsi (Pramoedya Ananta Toer) dan Senja di Jakarta(Mochtar Lubis) berbicaranya melalui untaian cerita. Saat praktik korupsi begitu menggurita, manipulasi penuh. Modus yang dikenal pada periode 1950-an adalah ‘Importir aksentas’ atau pengusaha ‘Ali-Baba’. Kebijakan nasionalisasi saat ini diakali oleh ‘Importir aksesntas.’ Perusahaan nasional (dalam negeri) yang menjual kembali izin penting bagi perusahaan asing. Begitu pula mencoba ‘Ali-Baba’, sebuah modus yang berkedok importir pribumi untuk mendapatkan fasilitas penting dari pemerintah. Sementara di balik importir ini adalah pengusaha Cina atau Belanda. [1] Maka hal semacam ini lazim disebut ‘Ali-Baba’ atau Ali-Willem. [2]
Ketika itu, negara di bawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Pemerintah kala memang menggelorakan ekonomi nasional (termasuk nasionalisasi) dengan memberikan kredit-kredit pada pengusaha nasional. [3] Namun, Menteri Keuangan saat itu, Iskaq Tjokrohadisoerjo (1953-1955), melakukan politik nasional dalam ekonomi dengan banyak perbincangan. Ia mengutamakan pengusaha dari partai PNI saja, atau yang menyokong pemerintahan PNI (Ali) sehingga dapat memilih tanpa mempertimbangkan kemampuan. Terkait salah satunya, perusahaan importir kertas baru, Inter Kertas , yang setengah dari sahamnya dikeluarkan oleh Sidik Djojosukarto. [4]Menteri Iskaq bertindak seperti ini, bukan tanpa alasan. Tampaknya PNI Mengejar Persiapan untuk review Pemilu Tahun 1955. [5] Bahkan mengambil kebijaksanaan untuk review menyokong dana partai. Bersama Ong Eng Die (antara PNI), mereka menerima dana kementerian untuk dipindahkan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI. Mereka juga merombak personalia dana administrasi yang terkait dengan perdagangan dan perindustrian. Menteri Iskaq juga pernah membatalkan Koperasi Batik Indonesia sebagai satu-satunya importir cambrics , dan memberikan lisensi ini kepada beberapa importir yang tidak berpengalaman. Selain itu, dia juga memberikan izin penting bagi pemilihan perusahaan kepada orang-orang PNI. [6]
Kebijakan-kebijakan seperti ini mendapat tentangan keras dari partai Masyumi. Ketua Seksi Ekonomi dari persetujuan, KH Tjikwan (Masyumi) meminta mosi di persetujuan untuk interpelasi, guna mempertanyakan kebijakan Menteri tersebut. Mosi untuk interpelasi diterima dengan suara bulat. Namun mosi tak percaya berakhir dengan gagal. Kegagalan ini lebih bersifat politis, yaitu pemihakan kekuatan antara kebebasan dan partisipasi yang ikut dalam kabinet. Meski begitu, Partai NU yang ikut serta dalam kabinet menerima nota politik yang memberikan bantuan tentang masalah ekonomi. Begitu pula PSII yang ikut serta dalam kabinet tidak bertanggung jawab atas kelanjutan kebijakan menteri-menteri dari PNI itu. [7]
Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan kekuasaannya kepada Boerhanoeddin Harahap pada tanggal 12 Agustus 1955. Di sinilah kemudian Kabinet Boerhanoeddin yang diperoleh dari Masyumi membuktikan perlawanan melawan korupsi dengan lantang. Kabinet Boerhanoeddin langsung melancarkan kampanye anti korupsi. Pasal lima dari program kabinet ini adalah memberantas korupsi. [8] Kabinet ini langsung menyikat orang-orang yang terindikasi korupsi. Beberapa hari setelah dilantik, Pak Djodi Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman ditangkap. Begitu pula Menteri Keuangan Ong Eng Die. [9]Rumah Iskaq Tjokroahdisurjo digeledah. Saat ini Iskaq sedang berada di luar negeri. Ia berulang-ulang kali pulang. Namun perjalanannya di luar negeri diperpanjang. Dalam biografinya, ia diterima, sebetulnya ia pulang, tetapi di Singapura ia dijemput Lim Kay, yang diutus pimpinan pusat PNI. [10] Iskaq sendiri tahun 1960 divonis kalah oleh pengadilan, namun kemudian diselamatkan Soekarno dengan grasinya. Daftar orang-orang yang disetujui termasuk beberapa orang di lembaga penyelamat negara, pejabat kantor penting, serta pengusaha (importir). Penangkapan merebak di mana-mana. Bandung, Surabaya, Sumatera tengah, Jawa tengah hingga Penang. Dikutip di Singapura, Konsul Jenderal Arsad Astra juga diundang pulang dan diambil. [11]
Delapan hari setelah dilantik, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap – yang dilantik baru saat 38 tahun- menjelaskan kebijakannya melawan korupsi,
Untuk memperbaiki kembali keadaan yang tidak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam pemerintahan yang berkenaan dengan tindakan-tindakan korup oleh berbagai orang, maka pemerintah mempertimbangkan perlu untuk melakukan tindakan-tindakan yang keras dan tegas.
Ia juga memutuskan untuk melihat bulu membasmi korupsi, tanpa peduli partai, golongan atau agamanya. [12] Ia kemudian juga menggencarakan pertahanan dengan memperbesar kekuasaan Jaksa Agung. Ia membebaskan Jaksa Agung dari setiap pembahasan yang dapat dilakukan terhadap siapa pun atas dasar hukum. [13]
Gebrakan yang lebih keras dari kabinetnya adalah, saat kabinetnya mengeluarkan RUU Anti Korupsi yang memuat terlalu tinggi-recht. RUU yang mewajibkan para pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de bewijslast-omkeren. [14]
RUU anti korupsi terdiri dari dua bagian, pertama, menetapkan berbagai tindakan di dalam peradilan yang mengaturnya berlainan dengan peradilan biasa. Yaitu diselenggarakan pengadilan khusus -seperti juga untuk tindakan pengadilan ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya terhadap berbagai yang disetujui. [15]
Bagian kedua dari RUU ini adalah berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini memperbolehkan harta benda oleh Biro Penilik Harta Benda, untuk menyelaraskan harta dan kelegalan harta harta tersebut. Beberapa praktik pembaharuan yang baru dimulai beberapa saat disetujui.
RUU ini pun dibawa ke partisipasi. Namun, menyetujui RUU ini kandas setelah tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari partai mendukung seperti Partai NU. Boerhanoeddin sendiri tidak tahu alasannya mendukung oleh Partai NU. [16] Rangkaian usaha kabinet ini memberantas korupsi, diputar dituduh sebagai aksi balas dendam, termasuk oleh PNI. Namun Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap menolaknya, ia menentang pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh, obyektif, hati-hati dan tidak asal tangkap. [17]
Sesungguhnya kita tidak perlu heran dengan sikap para tokoh Masyumi yang anti korupsi. Karena sikap itu telah dipikirkan oleh para tokohnya dengan kasat mata dalam kesehariannya. Mereka adalah pemimpin yang dikenal dan dikenal sebagai Taat Beragama. Jika kita menilik kembali pada saat Masyumi melalui tokoh-tokohnya, maka kita akan mendapatkan gambaran tentang kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan. Meskipun memegang jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak terikat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah kesederhanaan M. Natsir, yang dipertanyakan oleh orang Indonesia , George McTurnan Kahin. Nama Natsir dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Dia (H. Agus Salim) mengajukan nama Natsir sebagai narasumber untuk Republik.
“Dia tidak akan menyukai seorang menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang sangat cakap dan penuh kejujuran; jadi jika kamu ingin membicarakan apa yang sedang terjadi di Republik, kamu harus membicarakan, ” jelas H. Agus salim.
Terbukti dengan membuktikan sendiri, ia melihat Natsir sebagai Menteri Penerangan, berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum pernah ada di menteri pemerintahan manapun. [18] Natsir tak mampu membeli rumah untuk meminjamkan. Hidupnya selalu di isi dengan kisah pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.
Kisah kesederhanaan Natsir terus berlanjut, tahun 1956, kompilasi telah berhenti menjadi Perdana Menteri dan menjadi pemimpin partai Masyumi, Natsir pernah akan diberikan mobil oleh seseorang dari Medan. Ia ditawari Chevrolet Impala , sebuah mobil ‘wah’ , yang sudah diparkir di depan Rumah. Namun Natsir menolaknya. Padahal saat itu mobil Natsir hanya mobil kusam merek DeSoto. [19]
Jabatan yang tinggi menghindarkan mereka dari penyelesaian amanah. Hal ini berlaku juga pada Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi yang kental dengan dunia ekonomi. Tahun 1951, setelah disetujui sebagai Menteri Keuangan, Sjafruddin ingin terjun di sektor swasta. Sebagai menteri, sangat pas-pasan, bahkan kurang. Bagi menteri Sjafruddin, haram disetujui menyalahgunakan kekuasaan, termasuk sambil berbisnis kompilasi, atau menerima komisi. Setelah tak diundang, kompilasi itu datang tawaran untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (kemudian dikenal dengan Bank Indonesia). Menawarkan ini diberikan langsung oleh salah seorang direksinya, Paul Spies. Sjafruddin menolaknya, dengan berbagai alasan, termasuk keinginannya mendapatkan lebih. Ia puas De Javasche Bank,yang akan dinasionalisasi oleh pemerintah, pasti akan turut dikembalikan. Ia diterima karena harus mendapatkan terjemahan pas-pasan, seperti menjadi menteri dulu. Namun sebaliknya prinsip kejujuran inilah yang dicari oleh Paul Spies. Hingga akhirnya pemerintah memutuskan akan menurunkan gajinya. Akhirnya jabatan itu pun diterima. [20]
Masalah lain dari hidup para tokoh ini adalah, mereka terkait saja, baik saat sebelum diterbitkan, saat disetujui, atau pun setelah disetujui. Tetap sederhana. Hidup mereka hanya berhak menerima saat menjadi pejabat. Hidup para tokoh Masyumi yang lebih mudah terlihat tatkala mereka ramai-ramai dipenjara oleh rezim Soekarno, tentu saja bukan karena tuduhan korupsi. Tapi melawan pemerintahan. Ketika masing-masing masuk bui, para istri mereka mengambil alih posisi mencari nafkah. Tak ada tabungan, atau harta melimpah yang disimpan suami mereka. Isteri dari Buya Hamka merasakan kehidupan itu. Semenjak Buya Hamka tahan, sering dikunjungi ke pegadaian. Seringkali perhiasannya tak bisa dit ditiru lagi. [21]Nasib mirip dialami Ibu Lily, istri dari Sjafruddin Prawiranegara, hidup menumpang di rumah kerabat dan menjual perhiasan. Rumah mereka yang menerima dengan mencicil ke De Javasche Bank, pun turut di sita. [22] Kisah-kisah para tokoh Masyumi yang tak punya rumah mendukung mendengarkan. Setelah bebas dari penjara, Natsir akhirnya bisa memiliki rumah, setelah membeli rumah milik kawannya, itu pun dengan cara mencicil dan membeli sana-sini. Begitu pula dengan Boerhanoeddin Harahap, kompilasi baru bebas, ia hidup menumpang di rumah adiknya yang ketat, di sebuah gang kecil, di Manggarai Selatan. Boerhanoeddin akhirnya memiliki rumah, dengan cara mencicil rumah yang dipinjamkan seseorang di daerah Tebet, Jakarta Selatan. [23]
Teladan hidup sederhana ini menghindarkan mereka dari dewaaan hidup mewah, dan untung rugi korupsi. Bagaimana mungkin akan dituduh korupsi, jika rumah pun tak punya? Kesadaran tinggi akan amanah dan kesalehan merekalah yang menghindarkan mereka dari gaya hidup mewah yang menawarkan kebebasan korupsi. Mereka lebih memilih hidup sederhana, memilih hidup mewah dengan mengumbar berbagai dalil sebagai dalih.
Teringatlah kita akan pesan Buya Hamka untuk para pejabat, untuk menghindarkan gaya hidup mewah,
“Dari kepala negara sampai ke menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh kecurangan korupsi. “Yang berkuasa hidup mewah dan mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri, sementara rakyat banyak mati, memiliki badan yang kaya.”
Buya pun diselesaikan dengan gamblang, kompilasi menjelaskan surat Ali Imran ayat 161 ini dalam Tafsir Al Azhar,
“… Nyatalah yang memerintahkan komisi yang diterima oleh menteri, karena harus menyetujui suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang sesuai rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga disebut.” Kita katakan menurut rasa halus imandan Islam hanyalah guna bagi para pejabat-tinggi negara, itulah yang lebih baik dari kecurigaan ummat. ” [24]
Maka cerminan dari masa lampau tak pernah bisa kita hapuskan kalau mau pindah. Sebaiknya para pengusung, pendukung dan partai mayoritas-partai berbendera Islam, mulai setuju kembali amanah mereka dan mulai mewakili hidup sederhana, menghempaskan gaya hidup bergelimang harta-dengan berbagai dalih-, seperti yang telah didukung oleh para pendahulu kita.
[1] Herbert, Feith. Dasawarsa Demokrasi Konstitusional di Indonesia . Publikasi Equinox. 2007. Singapura.
[2] Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional . Pustaka Utama Grafiti. 1987. Jakarta.
[3] idem
[4] Herbert, Feith.
[5] Noer Deliar
[6] ibid
[7] Noer, Deliar.
[8] ibid
[9] ibid
[10] Busyairi, Badruzzaman. Boerhanoeddin Harahap. Pilar Demokrasi. Bulan Bintang. 1989. Jakarta.
[11] Noer, Deliar.
[12] ibid
[13] ibid
[14] Busyairi, Badruzzaman.
[15] ibid
[16] ibid.
[17] ibid
[18] Panitya Buku Peringatan Mohammad Natsir / Mohamad Roem 70 Tahun. Muhammad Natsir. 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Pustaka Antara. 1978. Jakarta.
[19] Politik Santun Diantara Dua Rezim . Majalah Tempo. 20 Juli 2008.
[20] Rosidi, Ajip. Sjafruddin Prawiranegara. Lebih Takut Kepada Allah SWT. Pustaka Jaya. 2011. Jakarta.
[21] Hamka, Irfan. Ayah. Penerbit Republika. 2013. Jakarta.
[22] Rosidi, Ajip.
[23] Busyairi, Badruzzaman.
[24] Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al Azhar Juz IV. Pustaka Panjimas. 2004. Jakarta.