بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Sahabatku fillah…
Terlebih dahulu, marilah kita sejenak merenungkan kekuatan dan potret cinta sejati para Sahabat kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dengan mentadabburi ayat berikut ini :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Artinya :
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama- sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin (yang teguh keimanannya terhadap Rasulullah), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baik nya.” (QS Al-Nisa’/4:69)
Di mana kita dari mereka…? Apakah kita berada diantara mereka atau malah sebaliknya?
Sahabatku fillah…
Ketahuilah…
Suatu hari, dengan penuh percaya diri Sahabat Mulia Umar bin Khattab radhiyallahu anhu datang kepada baginda Nabi sallallahu alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari siapapun, kecuali diriku sendiri!”. Beliau menimpal, “Tidak wahai Umar, kau belum beriman, hingga aku lebih kau cintai dari dirimu sendiri!.”. Demi mendengar sabda mulia itu, bergegas Umar menjawab, ”Demi Allah, sungguh engkau wahai Rasulullah lebih aku cintai dari diriku sendiri,” (HR. Bukhari)
Seusai perang Uhud (3 H), delegasi Al-Ahdlal dan Al-Qarah (suruhan Quraisy) datang menemui Rasulullah ‘alaihissalam, memohon kepada beliau agar mengirim beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam karena banyaknya orang yang masuk Islam dari kabilah tersebut. Demi memenuhi permohonan tersebut Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengutus enam orang sahabat. Di tengah perjalanan delegasi kaum musyrik tersebut berkhianat dan membunuh tiga orang sahabat dan menawan tiga lainnya di kota Makkah, termasuk sahabat Zaid bin ad-Datsinah radhiallahu anhu. Bersebab keteguhannya mempertahankan iman, orang-orang Quraisy memutuskan untuk membunuhnya di luar area Tanah Suci.
Abu Sufyan bin Harb, seorang tokoh terkemuka Quraisy yang saat itu belum masuk Islam, sempat berdialog dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah radhiallahu anhu. Kata Sufyan, “Wahai Zaid !, sudikah engkau jika posisimu saat ini digantikan oleh Muhammad, lalu kami penggal lehernya, kemudian kami bebaskan dirimu kembali kepada keluargamu?”. Dengan ksataria Zaid bin Datsinah menjawabnya, “Demi Allah sungguh aku tak rela sedikitpun, jika saat ini Muhammad berada di rumahnya tertusuk duri, sementara aku bersama keluarga di rumahku!”. Abu Sufyan berkata, “Tak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad itu sendiri!” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, V/505; Al-Baihaqy, Dalail Al-Nubuwwah III/326).
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/72, 332), menukil riwayat yang bersumber dari Anas bin Malik radhiallahu anhu. Di tengah berkecamuk nya perang Uhud, tersebar isu di tengah – tengah penduduk Madinah yang hampir saja meruntuhkan kondisi psikis mereka : Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terbunuh!. Madinah, Kota Kenabian yang mulia itu banjir air mata…
Lalu seorang wanita Anshar berbegas keluar meninggalkan rumahnya menuju medan pertempuran Uhud, ia mendapatkan berita bahwa ayah, anak, suami dan saudara kandungnya gugur dan termasuk di barisan para Syuhada.
Dengan gagah berani wanita tersebut masuk medan perang yang hanya menyisakan bekas – bekas dan menjadi saksi bisu kesyahidan keluarganya. Jasad-jasad suci bergelimpangan sepanjang tapak jalannya…”Ini siapa?”, tanya-nya. “Bapakmu, anakmu, suamimu dan saudara kandungmu!”, jawab pada sahabat di sekitarnya.
Tiada menghiraukan informasi kematian keluarga terdekat yang dicintainya, Sahabat wanita pemberani ini malah menanyakan keadaan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, yang berjarak dekat di depan matanya, ”Apa yang terjadi dengan diri Rasulullah ?”. Bak air danau tertumpah, segera ia bergegas menemui Manusia Agung tersebut, ‘alaihissalam. Katanya dengan penuh keteguhan hati dan ketegaran jiwa beriman, “Demi Allah wahai Rasulullah, sungguh aku tak peduli apapun penderitaan yang menimpa diriku, selama dirimu yang yang mulia selamat!”.
Masya Allah …
Sahabatku fillah…
Dari untaian kisah tersebut kita dapat mengambil hikmah bahwa kecintaan kita kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam itu sebaiknya melebihi cinta kita kepada diri sendiri. Namun, mirisnya sekarang jangankan mencintai Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, mengamalkan kebiasaan – kebiasaan beliaupun tidak sedikit diantara kita yang lalai dalam melaksanakannya. Itulah manusia!!!
Jadi…. Jika demikian!
“Apakah pantas kita dikatakan seperti mereka (para sahabat Nabi) yang selalu mencintai Nabi Muhammad melebihi dirinya sendiri?
Semuanya kembali lagi pada diri kita masing – masing. Apakah kita ingin seperti mereka dan bisa bersama Rasulullah di Syurga Firdaus tertinggi-Nya Allah subhanahu wa ta’ala atau sebaliknya!!!
Mari terus kita cintai qudwah dan teladan kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang teramat agung dan mulia termasuk senantiasa selalu melantungkan shalawat kepada-Nya.
**********
Bulukumba, 20 Maret 2019
Penulis: Maulidiana Subhan
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bulukumba)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)