بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
MUJAHID DAKWAH.COM, Para pelajar sekolah menengah yang mempelajari sejarah dan mitologi Yunani Kuno tentu pernah mendengar sekilas tentang Pulau Kreta, tempat kelahiran legenda raja Minos, Minotaur, dan berbagai kisah aneh Yunani lainnya. Pulau yang bentuknya mirip Pulau Jawa yang terletak di daerah Mediterania (Bahr al-Rum) di selatan Yunani. Kreta merupakan salah satu pulau besar di Mediterania. Posisikan yang strategis menjadikannya tempat transit para pedagang di kapal tersebut. Karena posisinya yang dekat dengan Eropa, selama berabad-abad di pulau ini berada di bawah pengaruh Yunani, dan kemudian Romawi.
Ketika Islam muncul dan menyebar ke Afrika Utara, bertemu Islam begitu terasa di Mediterania. Belum genap satu abad hijriah, Islam sudah masuk ke Semenanjung Iberia (Spanyol). Pulau-pulau di Laut Tengah, satu demi satu mulai jatuh ke tangan Islam, menyisakan permusuhan pihak Byzantium (Romawi Timur) dan Eropa Latin – penguasa awal wilayah-wilayah tersebut – yang pada awalnya memang merupakan pelindung kaum muslimin.
Upaya-upaya penaklukkan Pulau Kreta telah berlangsung sejak awal masa Bani Umayyah. Dalam beberapa upaya penaklukkan, sebagian Pulau Kreta menghabiskan lebih dari satu tangan kaum muslimin, namun tidak bertahan lama, karena pulau itu berhasil dikuasai kembali oleh Byzantium.1 Penguasaan Pulau Kreta oleh kaum muslimin baru dapat dilakukan pada tahun 827, dengan kumpulan sekumpulan besar kaum muslimin Andalusia yang terusir dari kampung halamannya memutuskan untuk masuk dan menguasai Pulau Kreta.2 Mereka kemudian mendirikan keemiran Islam di pulau tersebut dan mempertahankannya selama satu abad lebih untuk mendukung penguasaan kembali oleh pihak Byzantium.
Ada latar belakang menarik yang mendorong orang-orang Andalusia ini bermigrasi dan pada akhirnya menjadi penguasa Pulau Kreta. Pada tulisan kami yang lain pernah ada alasan mengapa ada yang mendorong manusia melakukan perbaikan, di mana itu adalah alasan politik.Persoalan politik yang menyebabkan orang-orang Andalusia pergi keluar dari kampung halamannya menuju Aleksandria, dan kemudian menuju Pulau Kreta.
Kisahnya bermula di Andalusia, dibahas di ibukota Cordova. Ketika itu Andalusia dipimpin oleh al-Hakim I (ibn Hisham), dan terjadi ketidakpuasan di antara tokoh-tokoh dan masyarakat Cordova yang terlibat juga beberapa ulama dan teolog penting madzhab Maliki, seperti Yahya ibn Yahya al-Leythi dan Talut. Penguasa Bani Umayyah yang satu ini dianggap memiliki kepentingan yang juga besar terhadap kesenangan duniawi. Ketidakpuasan ini mendukung menentang pemberontakan terhadap al-Hakim. Al-Hakim berhasil menumpas gerakan tersebut, menghancurkan perkampungan mereka hingga rata, termasuk masjid-masjid yang ada di dalamnya, serta mengusir para pemberontak yang keluar dari Andalusia. Sebagian dari mereka bermigrasi ke Fez, Maroko, dan menetap di lokasi yang kemudian dikenal sebagai Medinatu-l-Andalusiin.
Orang-orang Andalusia yang bermigrasi ke Aleksandria cukup banyak.Jumlah sejarawan yang bervariasi antara 3000 hingga 15.000 orang.Mereka dipimpin oleh Abu Hafs Umar al-Andalusi al-Balluti, yang berasal dari Fahs al-Ballut, sebuah wilayah di Cordova.4 Kota Aleksandria kompilasi itu sedang meningkatkan ketidakstabilan politik. Bersama dengan penduduk setempat para migran Andalusia ini kemudian mendirikan republik kecil di kota itu. Mereka menjalankan pemerintahan di sana selama kurang lebih 12 tahun.
Pada tahun 827, Dinasti Abbasiyah menunjuk seorang gubernur baru, Abdullah ibn Tahir, untuk menertibkan kembali wilayah Mesir. Ibn Tahir mengepung Aleksandria dan berhasil mengalahkan para migran Andalusia ini. Ibn Tahir memberikan Jaminan bagi mereka untuk keluar dari Aleksandria dengan aman dengan persyaratan mereka tidak membawa serta penduduk Mesir, tidak membawa budak, dan tidak membawa kapal mereka di wilayah kekhalifahan Islam (Dinasti Abbasiyah) .5 kapal mereka menuju Pulau Kreta.
Pada masa itu orang-orang Arab Muslim menyebut Pulau Kreta dengan nama Ikritish. Pulau itu terkenal sebagai penghasil susu, keju, dan madu yang baik. Dua yang terakhir ini merupakan produk-produk yang ditawarkan ke Mesir. Pulau Kreta juga merupakan penghasil delima, damar wangi, antimon, dan kacang walnut dan hazelnut. Perdagangan ekspor-impor merupakan aktivitas yang cukup menonjol di sana.
Ketika Abu Hafs dan anak buahnya tiba di Pulau Kreta, diceritakan bahwa ia menerima kapal-kapal yang membawa mereka untuk dibakar. Ketika muncul protes, Abu Hafs membantah bahwa mereka tidak semestinya memberi hormat karena mereka telah memperoleh tanah yang kaya susu dan madu. ‘ Pulau Kreta akan menjadi negeri mereka yang sesungguhnya. Mereka bisa menikahi penduduk setempat dan membangun generasi baru. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa kisah ini hanya sekadar cerita yang bercampur dengan legenda, kaum migran dari Andalusia ini kemudian benar-benar menetap di pulau itu dan membangun generasi baru di sana.
Mereka menjadikan wilayah pendaratan sebagai dasar pertahanan dan membangun perlindungan (khandaq, dalam bahasa Arab) di sekelilingnya. Tempat ini kemudian menjadi milik Islam dan diberi nama al-Khandaq. Orang-orang Yunani menyebut kota tersebut Chandax dan nama itu kemudian berubah menjadi Candia, yang merupakan bentuk terkorupsi dari kata khandaq. Lokasinya kurang lebih sama dengan kota Herakleion sekarang ini. Abu Hafs dan para pengikutnya tidak banyak kesulitan dalam menguasai pulau tersebut. Byzantium sedang melakukan pembicaraan internal sehingga tidak dapat mengirimkan pasukan untuk mempertahankan pulau itu. Selain itu, tidak ada penolakan dari masyarakat Kristen lokal yang rupanya memendam tidak puas terhadap penguasa Byzantium.
Sejak saat itu, berbagai serangan sering dilakukan oleh pasukan muslim Pulau Kreta terhadap wilayah kekuasaan Byzantium yang menguasai.Armada yang dikirim kalahkan Byzantium untuk merebut pulau itu tidak membuahkan hasil. Pulau Kreta tumbuh menjadi duri untuk kekaisaran Romawi Timur itu. Penaklukkan Sisilia yang dipimpin oleh Asad ibn al-Furat juga rupanya terjadi atas dukungan kaum muslimin di Kreta yang menyediakan tempat bersinggah di pulau yang diperuntukkan bagi Ibn al-Furat dan pasukannya sebelum mereka masuk ke Sisilia.7
Pulau Kreta sejak saat itu terus menerus berada dalam konflik dan peperangan dengan Byzantium, tetapi masyarakat di pulau itu sendiri hidup berdampingan dengan damai dan toleran. Pulau Kreta di bawah pemerintahan Islam memiliki perkotaan yang sangat berkembang.8 Pada masa-masa ini, Kreta membangun ekonomi dan budaya dengan Andalusia, Menguasai politik mereka lebih berkiblat di Dinasti Abbasiyyah. Ibukotanya merupakan pusat intelektual yang cukup penting.9 tidak memiliki sumber-sumber yang dapat dicatat dengan baik tentang sejarah Pulau Kreta dan juga prestasi-prestasi yang ada di sana.Sejarahnya hanya muncul sebagai catatan pinggir tentang kisah pemberontakan di wilayah Islam yang berhasil diatasi dan para pelakunya disingkirkan ke wilayah lain,
Kepemimpinan Pulau Kreta setelah Abu Hafs Umar al-Balluti diterima oleh para pemimpinnya, yang sulit mencapai sepuluh orang emir.10 Setelah 134 tahun berada di bawah kendali muslim, pada tahun 961 Byzantium di bawah kepemimpinan Nicephorus Pochas menginvasi pulau itu. Upaya sultan terakhir Pulau Kreta, Abd al-Aziz, meminta bantuan pada pemimpin muslim di Suriah dan Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara, serta upaya dua pihak yang terakhir ini untuk membantu, tidak membuahkan hasil. Pulau itu pada akhirnya jatuh ke tangan Byzantium.Bersama dengan penaklukkan Byzantium tersebut, kota-kota dihancurkan, kaum Muslimin dihancurkan atau dijadikan tawanan, masjid-masjid dimusnahkan, dan kitab-kitab al-Qur’an dibakar. Kaum muslimin yang masih tersisa di pulau itu masuk Kristen. Muslimah lenyap dari pulau itu.
Sejak saat itu, Pulau Kreta kembali berada di bawah kendali Byzantium, dan pada masa Perang Salib jatuh ke tangan Venesia untuk beberapa saat lamanya. Bagaimanapun, sejarah Islam di pulau itu rupanya belum betul-betul berakhir. Pada pertengahan abad ke-17 pulau itu dikuasai oleh Turki Utsmani. Pulau Kreta tetap di pangkuan Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad. Ketika kekhalifahan yang terakhir semakin lemah pada abad ke-19, banyak wilayah di bawahnya yang memberontak dan berusaha menyelamatkan diri, termasuk diangkut Yunani dan Kreta.Pulau Kreta benar-benar memisahkan diri dan bergabung dengan Yunani bersamaan dengan Perang Dunia Pertama.
Kaum muslimin memiliki dua kali masuk ke Pulau Kreta, dan dua kali pula mereka keluar dari pulau itu. Adakah mereka akan kembali ke pulau itu untuk yang ketiga kalinya pada suatu hari nanti? Wallahu a’lam. [Kuala Lumpur, 18 Rabi al-Akhir 1431, 2 April 2010].
***********
Penulis: Dr. Alwi Alatas
(Alumni Doktoral Jurusan Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
Sumber:
[1] Untuk upaya-upaya awal penaklukkan pulau ini lihat Dr. Ismat Ghan? M, Al-Imbir? T? Riya al-B? Zan? Iya wa Kr? T al-Isl? Miya, D? R al-Majma ‘ al-‘Alami, 1977, hlm. 33-34. Menurut buku ini, serangan ke Pulau Kreta oleh Kekhalifahan Islam terjadi untuk pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Muawiyya bin Abi Sufyan pada tahun 674 (54 H).
[2] Hamilton AR Gibb, Studi Peradaban Islam, Princeton: Princeton University Press, 1982, hlm. 48.
[3] Ahmed ibn Mohammed al-Makkari, Sejarah Dinasti Mohammedan di Spanyol, vol. II (diekstraksi dari Nahfu-t-Tib min Ghusni-l-Andalusi-r-Rattib wa Tarikh Lisanu-d-Din Ibni-l-Khattib), Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1984, hlm. 102-103.
[4] M. Canard, ‘Ikritish,’ dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi baru, vol.III, Leiden: EJ Brill, 1979, hlm. 1082-1083; E. Levi-Provencal, ‘Abu Hafs’ Umar b. Shu’ayb al-Balluti, ‘dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi baru, vol. Aku, hlm. 121. Lihat juga Dr. Ismat Ghan? M, Al-Imbir? T? Riya, hlm.38-39.
[5] M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1083; Ismat Ghan? M, Al-Imbir? T? Riya, hlm.40.
[6] Muhammad Abdullah Enan, Momen Penentu dalam Sejarah Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1983, hlm. 76-77.
[7] M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1083; Muhammad Abdullah Enan, Momen Penentu, hlm. 77.
[8] Alexander P. Kazhdan (ed.), Kamus Oxford Byzantium, vol. 1 (Aaro-Eski), New York: Oxford University Press, 1991, hlm. 546.
[9] E. Levi-Provencal, ‘Abu Hafs,’ hlm. 121.
[10] Lhat transisi pada M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1085.
[11] Ibid., Hlm. 1084-1085.