بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Cinta adalah sebuah kata kerja. Karena itu mencintai berarti membawa konsekuensi bagi para pecinta sejati berupa keterharusan untuk melindungi, merawat, menyirami, dan menumbuhkan kuntum-kuntum cinta agar senantiasa tetap bersemi.
Maka pada setiap betikan niat yang menggerakkan diri untuk mencintai lalu menikahi seseorang; tanyakan pada hati nurani, apa yang paling menyalakan minat di dalam hati. Sejenak mari belajar dari sebuah kisah cinta yang tak hanya bersemi di dunia namun membawa harumnya hingga ke surga.
Kala itu,Utsman Ibn Affan baru dibaiat menjadi khalifah ketiga untuk meneruskan kekhalifahan Amirul Mukminin Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu yang syahid di tangan seorang kafir majusi. Kala itu pula, Utsman Ibn Affan memutuskan untuk menikah lagi untuk kesekian kali, setelah pada dua pernikahan sebelumnya ia telah menikahi dua putri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum sehingga Utsman Ibn Affan digelari sebutan “Dzun Nurain atau Pemilik Dua Cahaya”.
Tak berselang lama, atas upaya Tamadhar, istri ‘Abdurrahman ibn ‘Auf untuk pertama kalinya Utsman Ibn Affan bertemu calon istrinya ketika akad baru hendak diucap karena percaya dan yakin sepenuhnya atas upaya dan itikad baik Abdurrahman dan istrinya. Betapa kagetnya Utsman. Betapa tidak, calon istrinya bisa diibaratkan sebuah bunga yang baru berkembang dan akan mekar karena calon istrinya baru berusia 18 tahun usianya.
Nailah binti Al Farafishah Itulah namanya, seorang gadis cantik berusia 18 tahun dari negeri Syam. Nailah dan Utsman menikah di Madinah Al Munawwarah. Sebelum akad terucap, Utsman sadar dan berucap, “Aku membebaskanmu dari ikatan ini jika kau tak ridha atas keadaanku!”.Utsman sadar betul, usianya saat itu sudah tak muda lagi, tubuhnya rapuh seiring usia, betapa tidak Utsman saat itu telah berusia 80 tahun. Sebuah usia yang mungkin tidak menarik lagi bagi para gadis berusia muda, namun herannya, hal itu tidak belaku bagi seorang Nailah.
“Apa maksudmu duhai Dzun Nurain?”, tukas Nailah, “Demi Allah aku tak ingin sedikitpun membatalkan ikatan pernikahan yang suci ini!” jawab Nailah. “Tapi pastinya kau takkan menyukai ketuaanku”, sahut ‘Utsman. “Justru aku ini suka suami yang lebih tua”, jawab Nailah dengan tersipu. Utsman malah membuka surbannya, memperlihatkan geripis kebotakan di rambutnya, “Bukan hanya tua, diriku telah jauh melampaui ketuaan”, ujar Utsman. Mendengar hal itu, Nailah malah mendekat & mencium kening ‘Utsman. “Masa mudamu sudah kauhabiskan di sisi Rasulullah, duhai lelaki yang 2 kali berhijrah.
Betapa berharga bagiku jika Allah mengaruniakan kesempatan mendampingi sisa usia muliamu, hingga kelak menghadapNya, insya Allah”, pungkas Nailah yang menimbulkan ketentraman bagi Utsman.
Sungguh sebagian dari kita mungkin menganggap bahwa bahtera mereka jelas tidak mudah, usia Nailah menjelang 18 tahun ketika itu, dan ‘Utsman yang pemalu mendekati 80 tahun. Tapi sebelum menilai bahtera rumah tangga, kenalilah dulu nahkodanya. Utsman Ibn Affan, Inilah lelaki pemalu yang menjaga kesucian diri; yang mandinya menutup semua pintu-jendela, di bilik tersembunyi berselubung tabir.
Pada lelaki ini, Malaikat pun malu padanya; lelaki ini tunduk pandangnya, panjang qiyamullailnya, syahdu tilawahnya, luas dermanya, jernih batinnya. Pada pernikahan ini nanti Allah karuniakan 3 putra pada mereka. Bahtera yang berlayar dilautan cinta.
Selanjutnya setelah menikah, Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti nyata atas keputusan mereka untuk bersama dalam ikatan pernikahan yang suci nan mulia. Utsman mencintai Nailah dan Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati yang senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.
Nailah yang disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan semakin mekar. Ia menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata dan sangat menguasai sastra. “Aku tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya (Naila). Aku tidak segan apabila ia mengalahkan akalku,” kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah. Begitu cintanya sorang Utsman terhadap Naila, maka Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Masya Allah
Epilog
Bunga-bunga cinta yang tumbuh dengan indah di atas ketakawaan senantiasa digugurkan sesuai musim dengan tetap membawa keindahannya. Tahun itu, terjadi fitnah dan pemberontakan yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah.
Hari itu Utsman Ibn Affan tengah membaca Al Quran, suaranya tidak terlalu jelas, namun khusyuk penuh penghayatan, ketika beberapa orang pemberontak nan durjana menerobos masuk ke dalam kamarnya dan memaksa Utsman menghentikan tilawahnya.
Melihat sekumpulan para durjana yang hendak membunuh suaminya, bangkitlah istri yang dicintai dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan membiarkan rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha menggoda sifat kejantanan para pemberontak tersebut. Spontan Utsman berteriak dan membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu! Demi umurmu, kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan rambutmu”, teriak Utsman yang bersikukuh menjaga kehormatan istri yang dicintainya, kendati ajalnya sudah menunggu di mata pedang para durjana.
“Antara aku dan engkau ada Kitabullah,” ucap salah seorang durjana sembari menebaskan pedangnya. Utsman menangkisnya hingga putuslah tangannya. Darah mengucur deras dari tangan Utsman dan membasahi Qur’an yang ada di hadapannya, tepat mengenai firman Allah yang berbunyi,
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al Baqarah : 137).
Seorang durjana lain maju menyabetkan pedangnya ke arah Utsman, namun sebuah keberanian indah lagi-lagi muncul dari dalam diri Nailah. Nailah yang berada di dekat tubuh Utsman segera menangkap sabetan pedang itu hingga jari-jarinya putus bersimbah darah. Orang-orang itu kembali tak henti mengayunkan pedangnya ke arah perut Utsman, lalu salah seorang lagi memukul keningnya dengan sepotong besi. Utsman jatuh tersungkur, lalu terakhir, seorang yang lain melompat ke atas tubuh Utsman dan menghujamkan pedangnya sebanyak tujuh kali. Air mata Nailah tumpah ruah saat sang suami syahid di pangkuannya.
Ketika kemudian seorang musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa di tengah derasnya air mata, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”. Sejarah mencatat, si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta.
Hari itu rindu Utsman terhadap junjungan terkasih, yakni Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam beserta sahabat-sahabatnya seperti Abu Bakr ash Shiddiq dan Umar Ibn Khattab tunai terobati. Firasat yang tersampai dalam mimpi semalam sebelum syahidnya menjadi nyata. Kala itu, Utsman bermimpi Rasulullah mendatanginya seraya berkata, “Malam ini, makanlah (berbuka) bersama kami, wahai Utsman”.
Karena itu Utsman menyiapkan dirinya dengan berpuasa setelah sebelumnya membebaskan 20 orang hamba sahaya, dan berpakaian yang lebih panjang agar auratnya tetap terjaga jika durjana membunuhnya.
Sedangkan Nailah, istri yang begitu mencintainya telah membuktikan bahwa pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang terbaik bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta, meski harus berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan kemudian, potongan jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan Mu’awiyah di Syam untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak dalam membunuh Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan. Utsman pun demikian dalam mencintai Nailah.
Karena itulah Nailah pun begitu merasakan dan mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta Utsman kepada Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu menggerakkan dirinya menjadi perisai bagi kesewenang-wenangan para pembunuh terhadap suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat penuh ketaatan pada-Nya.
Utsman senantiasa membuktikan bahwa ia mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka, semakin luaslah ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami. Demikian pula kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu.
Ruang hatinya terlalu penuh dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu terisi oleh cinta yang lain. Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya. Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan.
Dan Nailah seolah tak jemu-jemu membuktikan cintanya kendati suaminya telah bergelar syuhada. Dikisahkan, ketika Amirul Mukminin yang baru yakni Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan pinangannya untuk Nailah yang menjanda. Nailah dengan tegar menjawab, “Tidak mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku”.
Rahimahumullah, Utsman Ibn Affan dan Nailah binti Al Farafishah. Sebuah kisah cinta yang tak tersekat umur dan wujud. Cinta yang dengan kesetiaannya berhulu serta bermuara di keabadian surga.
Penulis : Dian Rahmana Putri