بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif)
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan diatas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad).
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar)
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah dengan apa yang disebut ulfah (saling menjinakkan).
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka”. (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
***********
Penulis: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Pendiri INSISTS, Dosen, Inisiator MIUMI Pusat dan Penulis Buku)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)