بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103)
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar ukhuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
***********
Penulis: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Pendiri INSISTS, Dosen, Inisiator MIUMI Pusat dan Penulis Buku)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)