بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Pemimpin selalu identik dengan tokoh, idola, figure sentral, bahkan bisa merupakan jelmaan ratu adil. Namun kini di zaman postmodern pemimpin lahir dari wacana atau diskursus melalui media masa. Betapa idealnya seorang pemimpin dimasa lalu dapat dilacak dari pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat. Pemimpin politik, waktu itu, adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.
Para pakar pun mencari criteria ideal seorang pemimpin. Pikiran dan criteria Niccolò Machiavelli (1469-1527) abad 19 di anggap awal kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Wor ship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa.
Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik. Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.
Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.
Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Mengapa bisa terjadi demikian?
Teka teki ini mungkin terjawab oleh temuan teori pemimpin yang digagas oleh Oxford School Leadership. Teorinya disebut Neo-emergent theory. Dalam teori yang dianggap paling mutakhir ini pemimpin dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya me lalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi wacana-wacana ideal tentang pemimpin yang dipromosikan itu. Teori ini digambarkan sebagai berikut: “the press, blogs and other sources re port their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a pay ment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.”
Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin media masa atau sosial (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi “mediakrasi” (kekuasaan media). Media pun sudah di bawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.
Sudah tentu ini diluar nalar waras. Tapi memang Logika postmodern tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna. Makna menentukan segalanya. Siapa yang memberi makna adalah siapa saja. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.
Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme meng hasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, anehaneh dan dianggap gila itu pemimpin ber karakter. Bahkan berkarakter itu bisa dimaknai menjadi bermoral dan ber akhlaq. Padahal kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin. Pemimpin akhirnya menjadi seperti wa yang yang memerlukan dan diperlukan seorang dalang.
Kata “moral” pun rancu, karena dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang di sebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial.
Maknanya moral dan etika menjadi longgar tergantung masyarakat. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan atur an masyarakat, dan tidak selalu religius. Maka bermoral dan berkarakter tidak bisa disamakan dengan berakhla1. Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.
Maka pemimpin berkarakter saja tidak cukup mensejahterakan masyarakat, demikian pula pemimpin bermoral. Sebab seorang pemimpin yang tegas, pekerja keras, pandai membangun infra struktur publik bisa dianggap berkarakter. Meski pun dibalik itu boleh jadi ia melakukan kecurangan dan tindah amoral secara rahasia. Seorang yang tidak ambisius, nampak sederhana, halus dalam percakapan, dan murah senyum bisa diberi label bermoral.
Namun jika ia sering berbohong, pembenci, penipu, zalim pada sesama, apalagi menentang Tuhan, maka ia tidak berakhlaq. Meski kondisi berfikir masyarakat dunia saat ini nampak begitu postmodern, sebaiknya pemimpin yang dihasilkan adalah tokoh yang tetap menjaga akhlaqnya dan beramanah. Kemuliaannya tidak dihasilkan oleh luar dirinya alias orang lain, atau selain dirinya, itulah akhlaq. Per buatan, perkataan dan pikirannya, seperti kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka yang ada hanya pemimpin amoral dan pengkhianat.
***********
Penulis: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Pendiri INSISTS, Dosen, Inisiator MIUMI Pusat dan Penulis Buku)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)