بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Bersambung….
***********
Penulis: Dr. Adian Husaini
(Pendiri INSISTS, Dosen dan Penulis Buku)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)