بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Salah satu konsep penting yang membedakan antara Ahlussunnah dan Syiah adalah imamah (kepemimpinan). Setelah Nabi wafat persoalan yang pertama timbul adalah siapa “pengganti” Nabi sebagai pemimpin.
Istilah yang disepakati untuk pengganti oleh para sahabat waktu itu khalifah. Karena khawatir akan berarti khalifatu Allah (pengganti Allah) maka Abu Bakar segera menegaskan artinya Khalifatu Rasulillah.
Tapi menurut Syiah pengganti Nabi bukan Khalifah tapi imam (pemimpin). Kata imam dalam al-Qur’an tidak khusus. Ada istilah imam orang kafir (a’immatul kufr), artinya pemimpin, imam rakyat (imam al-ra’iyyah) artinya khalifah, imam tentara (imam al-jundi) adalah jenderalnya, imam para imam (imam al-a’immah) adalah gelar Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.
Perbedaan istilah khalifah atau imam menurut Sunni dan Shia’ah bukan soal bahasa, tapi sudah soal keyakinan. Sebab bagi Sunni, khalifah pengganti Nabi yang disepakati oleh para sahabat ada empat: Abu Bakar, Umar, Uthman dan terakhir Ali bin Abi Talib.
Tapi bagi Syiah yang menjadi pengganti Nabi hanyalah Ali bin Abi Talib dan anak cucunya. Dan itu, menurut Syiah merupakan ketetapan Allah. Dalam kitab Syiah al-Usul min al-Kafi, Kitab al-Hujjah juz 1 hal 277, disebut bahwa keimamam Ali adalah ketetapan dari Allah dan diketahui oleh orang perorang.
Tapi dalam kitab Nahjul Balaghah Ali menolak menjadi pengganti Uthman bin Affan dan bahkan akan patuh kepada siapapun yang jadi Khalifah. Kepada Talhah dan Zubair ia mengatakan: ”Sungguh Aku tidak ingin menjadi Khalifah, atau kekuasaan seperti ini” (Nahjul Balaghah, Khutbah ke 29). Apakah berarti Ali menolak ketetapan Allah?
Sementara Syiah tidak mengakui ketiga khalifah itu sebagai khalifah apalagi sebagai imam. Imam hanyalah Ali dan Ali itu bukan khalifah. Anak turun Ali yang dianggap mewaisi kepemimpinan Ali adalah 2) Hasan, 3) Husain, 4) Zainal Abidin, 5) al-Baqir, 6) Ja’far al-Sadiq, 7) Musa al-Kazim, 8) Ali Ridha, 9) Muhammad al-Jawad, 10) Ali al-Hadi, 11) Hasan Askari 12) Muhammad yang ditunggu atau al-Mahdi
Umat Islam yang sunni (ahlussunnah wal jamaah) tidak membedakan gelar khalifah dan imam. Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah nya dan al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, dan juga Rasyid Ridha imam, khilafah, imamah al-‘Udhma dan amir al-mu’minin adalah sama yaitu pengganti Rasul dalam menjaga agama dan politik dunia (siyasat al-dunya).
Karena istilah imam maknanya sama dengan khalifah, maka Al-Mawardi, al-Taftazani dan al-Iji sependapat bahwa imam adalah pemimpin umum dalam agama dan berperan sebagai pengganti Nabi, tapi mempunyai kekuasaan terbatas. Batasannnya dijelaskan oleh Abdul Ghani dalam al-Khilafah wa Sultatu-l-Imamah yaitu tidak berhak meletakkan syariah, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Hukum yang dikeluarkan oleh mereka bersifah ijtihadiyah.
Jadi dalam mazhab Sunni khalifah hanya pemimpin agama dan politik. Ia bisa ditegur, dan bisa dikritik oleh rakyatnya jika salah. Namun dalam Syiah tidak demikian. Dalam kitab al-Kafi, imam, adalah sederajat dengan Nabi-nabi. Imam adalah wakil Allah dan Rasul. Dengan mempercayai imam maka shalat, zakat, puasa, haji, rampasan, sadaqah menjadi sah. Imam bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan dan halal. Imam itu suci dari dosa, bebas dari aib. Imam itu memiliki kelebihan khusus tanpa mencari dan menguasahakannya, karena diberi oleh Allah.
Menurut al-Mufid Ulama Mazhab Imamiyah, seperti dikutip dalam kitab Biharl al-Anwar, karya al-Majlisi (Juz 23 hal 230) yang mengingkari salah seorang dari 12 orang imam, atau menolak untk taat seperti yang diwajibkan Allah maka ia telah “kafir dan masuk neraka”. Bahkan menurut Khomaini (seperti dikutip Ihsan Ilahi Zahir) derajat imam tidak mungkin dicapai malaikat yang paling dekat dengan Tuhan sekalipun atau oleh Nabi yang diutus oleh Allah.
Namun, Dr. Ahmad Mahmud Subhi dalam bukunya al-Imamah Laday al-Syiah al-Ihna Ashriyyah mempertanyakan mengapa kepemimpinan politik tiba-tiba berubah menjadi aqidah?. Padahal Nabi sendiri sebagai pemimpin politik tidak mengklaim bahwa segala keputusannya dari Allah dan harus ditaati sebagai aqidah.
Pada peristiwa perang Badar misalnya, umat Islam berhenti pada tempat yang tak berair. Salah seorang sahabat bertanya:”wahai Rasulullah apakah keputusan berhenti disini ini atas perintah Allah atau dari diri Rasullah sendiri. Nabi menjawab:”itu dari ide saya sendiri.” Sahabat lalu mengusulkan agar berhenti ditempat yang ada airnya. Nabi pun mengatakan :”Anda benar!” Ini menunjukkan bahwa keputusan pemimpin (imam) dalam Sunni adalah masalah ijtihadiyah, bukan otoritas mutlak seorang pemimpin. Apalagi pemimpin dalam al-Qur’an diperintahkan untuk bermusyawarah.
Masalahnya, jika orang Syiah mengklaim pendukung Ali akan selamat, penentangnya kafir dan celaka. Dan pendukung selain Ali adalah sesat dan Musyrik. Sementara menurut Imam Syiah sendiri yaitu Sayyid Murtadho dari Ja’far tidak begitu. Buktinya Ali sendiri pernah berkhutbah “Abu Bakar dan Umar adalah Imam yang bijaksana….orang yang paling utama setelah Nabi. Jika Abu Bakar tidak pantas jadi khalifah, aku pasti tidak tinggal diam”. Maka siapa yang benar?
Demokrasi menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.
***********
Penulis: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Pendiri INSISTS, Dosen, Inisiator MIUMI Pusat dan Penulis Buku)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)