بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:” Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu`alaihi wasallam (sabdanya):
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah segala yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu. Kejujuran akan mendatangkan ketenangan. Kedustaan akan mendatangkan kegelisahan”. (HR. Tirmidzi, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Imam an Nawawi berkata:” يَرِيبُكَ bisa dibaca dengan fathah atau dibaca dengan dhommah Yuribuk dan artinya:”Tinggalkan kepada sesuatu yang engkau ragu akan kehalalannya dan ambillah sesuatu yang tidak ada keraguan didalamnya”.
Hadist ini dijadikan oleh para ulama sebagai salah satu diantara qaidah baik dalam ilmu ushul maupun ilmu fiqih. Hadist ini mengajarkan kepada kita tentang sifat yang sangat terpuji di dalam agama kita yang dikenal dengan sifat Al Waraa’a (Sifat kewara’an) yang merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Abu Muhammad adalah kunniyah dari Al Hasan ibn Ali, Al Hasan ibn Ali adalah cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau masuk islam pada tahun ke 3 Hijriyah dan beliau sering dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diatas mimbar ketika beliau berkhutbah sambil menggendong Al Hasan ketika masih kecil.
Al Hasan ibn Ali Radhiyallahu ‘anhu pernah dipersaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau adalah pemimpin para pemuda didalam surga, Rasulullah Shalllahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa kemuliaan Al Hasan ibn Ali diantaranya beliau akan menjadi sebab Allah Subhanahu wata’ala mendamaikan 2 kelompok yang saling berselisih, sebagaimana Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (penghulu) dan ia akan mendamaikan 2 kelompok yang akan berselisih sehingga tidak terjadi pertumpahan darah”, yang dimaksudkan adalah setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu maka Al Hasan ibn Ali menjadi khalifah namun kekhalifahan beliau terusik oleh Muawiyah bin Abu Sofyan yang ada di negeri Syam, kisahnya sangat panjang sebagaimana kita bisa baca dalam buku – buku sejarah, namun ketika beliau melihat perselisihan yang terjadi antara kubu beliau dengan Muawiyah yang dapat menumpahkan darah beliau kemudian menyerahkan khilafah kepada Muawiyah bin Abu Sofyan. Al Hasan ibn Ali memiliki pasukan yang sangat kuat pada waktu itu bahkan panglima perang beliau berkata :”Kita memiliki kekuatan dan bisa memaksa Muawiyah tunduk kepada kekhalifahan anda”, namun beliau tidak melakukan hal tersebut bahkan beliau mengalah sehingga pada tahun itu disebut dengan Amul Jama’ah (Tahun persatuan) yaitu ketika Al Hasan ibn Ali menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah bin abu Sofyan.
Al Hasan ibn Ali salah satu diantara cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkenal dengan kemuliaannya bahkan ayahnya Ali bin Abi Thalib berkunniyah dengannya Abu Hasan walaupun beliau juga memiliki kunniyah yang lain seperti Abu Husain namun kunniyah yang paling disukai oleh Ali bin Abi Thalib adalah yang diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada beliau yaitu Abu Turab, kunniyah ini diberikan oleh Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib ketika beliau melihat Ali bin Abi Thalib beristirahat dimasjid kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya sedang berbaring dilantai yang beralaskan tanah, Nabi kemudian berkata:”Kun ya aba turab”, Ali bin Abi Thalib terbunuh di kota Madinah beliau mati dirajuk adapun Al Hasan ibn Ali terbunuh pada tahun ke 50 hijriyah ada yang mengatakan pada tahun ke 49.
Al Hasan ibn Ali tidak banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diantara hadist yang beliau riwayatkan sebagaimana yang akan kita bahas
Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu`alaihi wasallam:”Tinggalkanlah apa yang meragukanmu”,
Ini merupakan anjuran nabawi yang memerintahkan kita untuk memilki sifat wara yaitu bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala terutama kepada hal – hal yang meragukan akan halalnya sesuatu. Dari An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya”. (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).
Tentu yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak ada nash atau jelas didalamnya, jadi seseorang dituntut untuk berhati – hati, ini salah satu diantara cara seorang muslim dalam mengambil sikap yaitu berhati – hati untuk menjaga diri, sebagai contoh ketika pakaian terkena najis kemudian kita ragu dan kita tidak tahu apakah yang terkena najis pada bagian depan atau bagian belakang pakaian, maka untuk ke hati-hatian adalah dengan cara bersihkan semuanya karena jika membersihkan depan dan belakang akan mengeluarkan kita dari keragu-raguan yang tidak menenangkan didalam hati, contoh yang lain jika kita sholat dan kita ragu apakah kita sudah mengambil 2 rakaat atau 3 rakaat, jika kita mengambil 2 rakaat maka kita akan ragu jangan sampai sudah masuk 3 rakaat dan jika kita mengambil 3 rakaat maka kita ragu jangan sampai baru 2 rakaat, untuk menghilangkan keraguan ini maka yang harus kita lakukan sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu tinggalkan yang meragukan maka yang meyakinkan adalah 2 rakaat, jadi ambil 2 rakaat karena jika mengambil 3 rakaat maka kita akan ragu dengan rakaat yang satu. Oleh karenanya kita mengambil sesuatu yang lebih meyakinkan dari perkara yang meragukan.
Silahkan gunakan qaidah ini dalam keseharian kita, namun perlu kita bedakan antara keraguan dengan was – was, was – was adalah sesuatu yang tercela dalam agama kita, misalkan ada orang yang terkadang terkena was – was dalam thaharah dan ini banyak yang terjadi, pernah ada seorang yang pada saat ia berwuduh ia mengambil waktu yang sangat lama dan mengambil air yang banyak bahkan orang – orang antri dibelakangnya, setelah ia berwuduh ia menjadi ragu apakah ia sudah berwuduh atau belum, akhirnya ia mengulangi wuduhnya. Hal ini pula pernah ditanyakan kepada Abu Wafa ibn Aqil Rahimahullah, ada seorang lelaki yang datang kepada beliau bertanya:”Ya Syaikh saya biasa ketika junub, berniat mandi kemudian terjun ke sungai dan setelah keluar dari sungai saya merasa belum mandi”, beliau berkata:”Pergilah, sholat tidak wajib lagi bagimu”, ia bertanya:”Ya Syaikh kenapa bisa.?”, beliau berkata:”Karena tidaklah ada seseorang yang kondisinya seperti ini jelas – jelas turun ke sungai mandi dan ia merasa belum mandi melainkan dia adalah orang gila dan orang gila tidak wajib sholat”.
Banyak orang yang was – was dalam sholat sampai hendak takbir dimana kita biasa melihat ada seseorang yang sering mengulangi takbirnya, ketika berwuduh ia boros menggunakan air, apalagi terjerumus dalam sifat takalluf (Memberat – beratkan diri) terutama dalam bersuci atau thaharah, kadang beredar SMS cara bersuci yang benar yaitu setelah bersih, berdiri, duduk lagi, urut perut, kemaluan kemudian siram, berdiri lagi, berdehem ini bagian dari takalluf dan was – was dari syaithan. Jadi, bukan ini yang dimaksud dalam hadist yang kita bahas.
Kejujuran akan mendatangkan ketenangan. Kedustaan akan mendatangkan kegelisahan
Kejujuran itu membawa ketenangan walaupun awalnya berat setelah itu mustarih, adapun orang yang berdusta dia tidak akan merasa tenang, sebagaimana yang pernah kita jelaskan seseorang yang berdusta akan melahirkan kedustaan – kedustaan yang lain diwaktu yang akan datang untuk menutupi kedustaan yang pertama.
Ini merupakan manhaj nabawi agar kemudian kita hidup dengan tenang yaitu miliki sifat yang jujur dalam perkataan, mengatakan sesuai dengan kenyataan dan inilah yang akan menenangkan hati dan hidup kita yang kelak akan menjadi sifat bawaan.
Wallahu A’lam Bish Showaab
Silahkan Share, Semoga Bermamfaat!!!
Penulis: Ustadz H. Harman Tajang, Lc., M.H.I Hafidzahullahu
(Direktur Markaz Imam Malik, Dosen STIBA Makassar)