بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Sesaat setelah membawakan materi di salah satu sesi Festival Teater Mahasiswa Indonesia, bersama beberapa rekan dan peserta, saya mengintip keluar dari jendela di lantai 4 gedung tempat kegiatan. Terjadi aksi perusakan dan penyerangan terhadap sebuah gedung dengan fasilitas belajar mengajar milik negara. Anarkisme itu pecah di tempat yang seharusnya menjadi ruang terdidik dan mendidik, yakni kampus dengan label peradaban.
Saya keluar menuju ke mobil yang terparkir agak jauh dari lokasi bentrokan. Saya memasukkan laptop dan beberapa materi kecil dari sesi diskusi ke dalam mobil, lalu melirik sejenak ke arah bentrokan di kejauhan. Tiba-tiba beberapa kelompok orang saling berkejaran mengarah ke gedung tempat kegiatan berlangsung. Saya menyaksikan seorang terkena batu sebesar kepalan tangan di bagian punggungnya, dan beberapa batu yang juga nyasar melayang ke arah kami. Lalu… prakkk, sebuah batu mendarat tepat di kaca belakang mobil saya. Saya masih bersyukur yang terkena hanya kaca mobil, sebab saat itu bersama dengan beberapa rekan saya berdiri tepat di samping mobil. Sejenak saya membuka pintu mobil, mengamankan laptop dan membersihkan beberapa serpihan kaca yang berhamburan.
Kronologis singkat kejadian anarkisme yang terjadi di kampus, sejatinya merupakan cerminan retak perilaku dan interaksi berkampus yang sudah jauh dari nilai-nilai akademika. Saya bisa saja dengan segera mengatakan menjadi korban, mengutuk, atau bahkan memperkarakan si pelaku.
Namun sejenak saya mengintip kembali cermin retak tersebut, memperbaiki posisinya dan menyusun beberapa paselnya yang salah posisi. Akhirnya saya melihat wajah saya kembali yang sesungguhnya. Saya bukan korban, melainkan bagian dari pelaku itu sendiri. Bukankah yang saling menyerang itu adalah anak-anak akademik saya, bukankah saya adalah orang tua didik mereka, dan jika akhirnya mereka saling serang, pasti ada yang salah dengan cara saya merawat dan mengasuh mereka.
Dalam sebuah diskusi beberapa waktu yang lalu, saya pernah menyinggung bahwa hanya tersisa 2 tempat di kampus yang tak tersentuh oleh aksi tawuran mahasiswa, yakni masjid dan perpustakaan.
Namun aksi anarkisme kemarin terjadi tepat di fakultas depan masjid dengan suara latar alunan ayat-ayat suci yang bergema bersahut-sahutan dengan ratusan sumpah serapah, makian, jeritan, dan aneka properti serta kendaraan lain yang ikut rusak. Artinya, masjid pun sudah tak berarti dan halamannya pun menjadi miniatur kawah kurusetra tempat berlangsungnya perang saudara bharatayuda antara pandawa dan kurawa yang notabene adalah saudaranya sendiri.
Jika demikian, perpustakaan menjadi satu-satunya lokasi yang belum tersentuh aksi anarkisme. Namun sembari tersenyum saya mengintip kembali cermin retakku. Bukankah saat ini saya menjabat sebagai kepala perpustakaan, yang berarti seluruh instrumen lembaga sebetulnya ikut melekat di diri saya. Saya mengintip kaca mobil yang pecah sembari mendengar pote-pote beberapa mahasiswa yang berkata “itu kaca mobil kepala perpustakaan pecah”. Artinya, perpustakaan pun sudah tersentuh aksi anarkisme dengan pecahnya kaca mobilku.
Sembari mempersiapkan perbaikan kaca mobil ke bengkel, saya juga sudah harus memperbaiki kaca yang lebih besar, yakni kaca cermin kampus peradaban. Bagaimana mungkin kampus akan terakreditasi dengan nilai maksimal jika interaksi dosen-mahasiswa belum berjalan layaknya interaksi orang tua-anak.
Setahu saya, penasehat akademik di kampus peradaban ini memang sudah lama teramputasi dengan dibentuknya sebuah pusat/lembaga yang “katanya” akan mengurus kepribadian dan karakter para mahasiswa. Mengapa tak memaksimalkan peran-peran penasehat akademik sebagai orang tua asuh akademiknya sepanjang masa kuliah sampai tiba sesi yudisium nanti.
Saya tentu tak akan lagi menyodorkan surat pengunduran diri selaku pejabat akibat kejadian kemarin, sebab sudah 2 kali selama menjabat saya mengajukan surat yang sama, namun toh tetap ditolak oleh pengampuh kebijakan kampus. Sejatinya saya memang harus menjadi bagian yang ikut bertanggung jawab dengan kejadian ini. Sebagai bagian dari orang tua yang salah asuh, yang lebih suka mempekerjakan polisi untuk mengamankan anak-anak kandung akademiknya berkelahi di dalam rumahnya sendiri.
Cermin retak memang selalu tak nyaman untuk digunakan, sebaiknya mengganti cermin-cermin itu dengan cermin baru, sebab sudah terlalu lama kita menyusun retakan sembari menunggu retakan-retakan selanjutnya. Ah, andai saja saya bisa diberhentikan akibat kejadian ini. Kirim maaf saya buat seluruh adik-adik mahasiswa, karena sudah menjadi orang tua yang salah dalam mengasuh sisi akademis kalian semua.
Tanggal: 24/10/2018
Penulis: Muh. Quraisy Mathar
(Sutradara Film, Dosen UIN Alauddin Makassar)