بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
MUJAHID DAKWAH.COM, Palu – Sebelum bencana alam gempa dan tsunami melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018) lalu itu, ribuan warga yang menghadiri kegiatan festival kebudayaan Palu Nomoni di Pantai Talise, sebagimana dilansir dari Republika.co.id.
Para warga hadir di pantai tersebut untuk menyaksikan kegiatan Balia. Balia merupakan kegiatan yang sudah lama hilang dan ingin dihidupkan kembali.
Balia sendiri dahulu kala digunakan untuk mengobati orang sakit menggunakan mantra dan dilakukan oleh dukun atau tetua adat.
Menurut Andi Ahmad, warga setempat, budaya ini baru dihidupkan kembali sejak 2016. Ritualnya dengan menggunakan sesajen, seperti menghanyutkan makanan ke laut dan hewan ternak, seperti kambing.
“Biasanya untuk mengobati orang sakit, menurut cerita dahulu, identiknya sih dengan sesajen,” kata Andi Ahmad, saat dimintai keterangan di Jalan Garuda Dua, Birobuli Utara, Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Ia melanjutkan, tradisi Balia sendiri biasanya identik dengan kain berwarna kuning yang menjadi hiasan panggung atau pun ruangan yang dijadikan tempat pengobatan tersebut.
“Jadi, ini itu identik dengan pakaian kuning gitu. Trus, domba-domba yang masih hidup itu dijadikan bahan sesajen dan dihanyutkan di laut,” terang Andi Ahmad.
Palu Nomoni berati artinya palu berbunyi. Menurut Andi, tradisi ini sebenarnya sudah lama lenyap sejak kedatangan guru tua Habib Idrus bin Salim Al Jufri, yang disebut masih memiliki sanad keturunan dari Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
“Sebenarnya tradisi ini sudah lama hilang, dibersihkan sejak kedatangan guru tua, namun kembali dihidupkan,” tuturnya.
“Jadi, memang tradisi ini identik dengan roh halus. Sejak 2016 dihidupkan kembali. Memang 2016 dan 2017 itu, setiap dirayakan, angin kencang trus. saat ini barulah tsunami,” Andi Ahmad menambahkan.
Laporan : Saifal/Islamic News Agency
Editor : Irfan & Akbar