بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
MUJAHID DAKWAH.COM, Uapan protes terhadap pembakaran berkobar di mana-mana. Bendera berkalimat tauhid itu dibakar dalam suasana sorak sorai oleh anggota ormas berlatar Islam. Satu ironi yang muncul tentu saja mencari-cari pembenaran atas pembakaran tersebut.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi kambing hitam dalam peristiwa pembakaran ini. Disebutkan bahwa pembakaran terjadi karena kain berwarna hitam itu adalah bendera HTI. Tulisan ini tak hendak membahas soal bendera tersebut. Tetapi kata khilafah yang menjadi wacana penting di balik isu pembakaran bendera.
Zaman memang telah berubah. Pada masa lalu, para pendiri bangsa, menanggapi runtuhnya Daulah Turki Usmaniyah, berembuk dalam Kongres Al-Islam dan berujung menghasilkan komite khilafat. Kongres ini digawangi para pendiri bangsa seperti Tjokroaminoto, KH Wahab Hasbullah (pendiri NU), KH Mas Mansur (Muhammadiyah), Haji Agus Salim, dan lainnya. Komite ini bertugas mencari jalan keluar atas runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani. Meski tak membuahkan hasil, setidaknya kita memahami tak ada tendensi negatif pada saat itu terhadap kata khilafah.
Penyikapan yang adil terhadap kata tersebut, terlepas setuju atau tidaknya, seharusnya bersemayam dalam pikiran mengatasi monsterisasi kata khilafah itu sendiri. Wacana khilafah sebagai politik rasa takut memang digoreng oleh berbagai pihak termasuk media. Melalui (monsterisasi) kata khilafah, menjadi pretext untuk tujuan-tujuan lain. Mirip pola rezim Orde baru ketika mereka melakukan monsterisasi gerakan Islam dengan tudingan Komando Jihad atau ekstrim kanan.
Alih-alih menanggapi dengan cerdas, sikap reaksioner dengan membubarkan tanpa proses peradilan bisa jadi malah berbalik. Isu khilafah yang ditenggarai bertentangan dengan konsep negara-bangsa (nation-state) sebetulnya merupakan satu hal yang harus dijawab pemerintah. Sejauh mana konsep negara-bangsa (nation-state)mampu menghadapi situasi nyata di Indonesia saat ini?
Pendapat mengenai tidak berdayanya satu (konsep) negara-bangsa saat ini bukanlah angan-angan. Banyak pendapat yang menunjukkan senjakala dari konsep negara-bangsa terutama menghadapi globalisasi dan liberalisasi ekonomi di dunia saat ini.
Rana Dasgupta dalam The Demise of The Nation State menyatakan bahwa orang-orang tak lagi meraih kedamaian di kampung halaman mereka. Sejak tahun 1985, hanya hampir 5% terjadi peperangan antar negara. Sebaliknya, konflik dalam negeri, bukan serangan asing yang menyebabkan kematian hampir 9 juta jiwa. Dari Republik Kongo hingga Suriah, konflik dalam negeri terjadi dan meledakkan angka pengungsian. Sekitar 65 juta orang telah menjadi pengungsi akibat konflik bersenjata di dua negara itu. Silakan bandingkan dengan angka 40 juta orang yang mengungsi akibat perang dunia tahun 1945.
Uang dari para elit mampu melintasi aturan-aturan tiap negara, melepaskan diri keluar negerinya. Negara tampak tak berdaya dikangkangi berbagai manuver elit memindahkan harta dari satu negara ke negara lainnya. Modal global pun mampu menembus jantung ekonomi tiap negara. Menyuntikkan dana. Dan ketika mereka sudah tak betah, modal panas itu pergi keluar meninggalkan negara dalam keadaan kolaps.
Masyarakat di belahan dunia manapun kini hidup dengan berbagai merk, barang dan produk dari berbagai belahan dunia. Kita bangun tidur dengan alarm ponsel dari Korea atau Cina. Kita mandi memakai sabun dengan merk dagang dari Amerika Serikat. Sarapan nasi dan tempe yang berasal dari beras dan kedelai impor. Naik kendaraan, entah itu sepeda motor atau mobil dengan merek dagang Jepang. Atau anda naik Bus Transjakarta asal Swedia. Bekerja mungkin di perusahaan lokal memakai laptop Cina, Jepang atau Taiwan. Demikian siklus hidup kita dikelilingi oleh berbagai produk ekonomi dunia. Ia mampu melewati batas-batas negara bangsa.
Batas-batas negara bangsa tak mampu lagi menahan gelombang aktivitas ekonomi. Menurut Kenichi Ohmae dalamHancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas,
“Semakin banyak individu yang melewati penyaring brutal yang memisahkan wilayah geografi gaya-lama dari ekonomi global, maka kekuasaan atas aktivitas ekonomi secara tak terhindarkan akan berpindah dari pemerintah negara bangsa ke jaringan individu tanpa batas yang tak terbilang jumlahnya.”
Nyatanya yang mampu berpindah dan melewati batas-batas negara bangsa bukan saja barang, tetapi juga jasa. Pendukung Globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia seperti Thomas L. Friedman dalam The World is Flat sudah menyatakan bahwa dunia itu saat ini menjadi datar. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan layanan call center sebuah perusahaan di Amerika Serikat ternyata dikerjakan oleh para pegawai pihak ketiga di India. Bagi Friedman, saat ini semua memilki kesempatan yang sama di muka bumi ini. (Thomas L. Friedman : 2006)
Tentu saja kita tak perlu mengamini pendapat penyokong perdagangan bebas seperti Friedman. Kritik terhadap dampak globalisasi yang timpang sudah disampaikan secara tajam oleh ekonom peraih nobel Joseph Stiglitz. Menurutnya dalamMaking Globalization Work, globalisasi tak pelak menguntungkan segelintir negara menjadi lebih makmur sementara yang lain menanggung dampak yang lebih besar. Diperlukan satu kompetisi yang lebih adil dalam globalisasi ekonomi. (2007)
Persoalannya Lembaga keuangan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) justru menyokong ideologi perdagangan bebas lewat liberalisasi ekonomi yang tak adil. Lembaga-lembaga keuangan dunia mampu mendiktekan berbagai negara agar membuka aturan ekonomi yang melindungi negara itu sendiri. Rezim perdagangan bebas mampu menundukkan negara-negara merubuhkan pagar perlindungan ekonomi dalam negerinya. Rezim perdagangan bebas atas nama keterbukaan menolak subsidi, memberlakukan tarif mengikuti pasar, menghapuskan proteksi bagi industri lokal.
Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, Indonesia sudah menjadi korban dari rezim perdagangan bebas. Intervensi IMF terhadap ekonomi Indonesia saat krisis 1998 membuktikan bahwa kedaulatan Indonesia begitu mudahnya diinjak-injak oleh mereka dan memaksakan satu resep ekonomi keliru dengan mencabut subsidi, membuka pasar keuangan sehingga menghancurkan ekonomi Indonesia lebih hebat.
Begitu pula berbagai perjanjian perdagangan bebas yang diteken bersama WTO nyatanya telah melindas kedaulatan pangan Indonesia sehingga menyiksa petani lokal dan menjadikan Indonesia importir bahan pangan. Perjanjian-perjanjian tersebut faktanya lebih banyak merugikan Indonesia.
Batas-batas negara bangsa juga tak mampu menahan lagi laju informasi dalam globalisasi. Informasi dari belahan dunia manapun kini mampu menerjang setiap individu di pelosok tanah air langsung ke jemari mereka. Badai di Amerika Serikat atau bom dari droneyang meledakkan warga sipil di Afghanistan hanya dalam hitungan menit telah sampai kabarnya di ponsel kita.
Selama infrastruktur teknologi informasi telah ada, apa yang terjadi, gagasan yang disebarkan di belahan dunia lain akan mendatangi kita dalam hitungan menit. Dan hebatnya, perusahaan semacam Google atau Facebook begitu dahsyat melompati batas negara-bangsa.
Siapa yang tak tergantung dengan google? Pemerintah tak mampu menahan hegemoni mereka. Alexis Wichowski dari Columbia University menyatakan dunia saat ini bukan saja milik negara-bangsa. Ada kehadiran aktor non-states (seperti ISIS dan Al-Qaeda), dan ada pula Net-States seperti Google dan Facebook. Net-states hidup dalam jaringan dunia maya, menikmati pengabdian internasional, dan agenda yang percaya akan kemajuan yang membuat mereka berbeda dan kadangkala melampaui hukum.
Google bukan saja mampu melampaui hukum. Tetapi ia mampu melampaui batas-batas geografis satu negara. Google earth mampu melongok ke bagian mana pun di muka bumi selama satelit mereka mengudara. Ia mampu melongok ke lokasi-lokasi yang mungkin dianggap rahasia bagi pemerintahan. Sangeet Kumar dalam Google Earth and the Nation State: Sovereignty in The Age of New Media (2010) menggambarkan Google ’menantang’ konsep batas-batas negara-bangsa melalui teknologi Google Earth-nya.
Ketika terjadi gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, beberapa hari kemudian muncul-lah penampakan dari atas kehancuran akibat bencana tersebut. Gambar-gambar tersebut muncul via pencitraan satelit. Bayangkan betapa data yang mampu diakses oleh para net-states ini.
Itu sebabnya Google disebut memiliki kekuatan seperti sebuah negara. Melalui kemampuan bakat intelektual tingkat tinggi, sumber finansial miliaran dollar dan kemampuan tingkat tinggi yang mampu memroses informasi yang dikombinasikan 10 tahun interaksi dengan data, tak pelak Google dapat disebut setara sebuah negara bahkan melampaui negara lainnya. (Sangeet Kumar: 2010)
Memiliki dua milyar penduduknya, Facebook dianggap Mark Zuckerberg seperti satu pemerintahan. “Dalam banyak hal Facebook lebih serupa dengan pemerintahan daripada perusahaan tradisional lainnya,”demikian aku Zuckerberg. Bukan saja karena jumlah penduduknya, Facebook juga mampu menjadi ajang kampanye pertarungan politik yang aturan mainnya diatur oleh mereka. Bukan itu saja, Facebook pada dasarnya mengetahui data strategis tentang preferensi politik penduduk satu negara, kebiasaan, dan berbagai data individu lainnya.
Akses informasi yang sudah begitu hegemonik melampaui batas negara bangsa akhirnya mampu menggerakkan penduduk untuk bergerak melampaui batas-batas negara bangsa. Gelombang pengungsian memberi informasi betapa dahsyatnya perindahan manusia dalam era saat ini. Perpindahan manusia juga terjadi akibat satu kebijakan kesepakatan penyatuan wilayah. Contohnya adalah Uni Eropa.
Uni Eropa merupakan satu contoh meleburnya negara-negara yang menyepakati mengurangi banyak aspek dari batas-batas negara bangsa. Warga Uni Eropa menikmati perpindahan dan mobilitas penduduk yang sebelumnya begitu tersekat-sekat. Yunani adalah salah satu contoh menarik betapa memikatnya penyatuan dalam Uni Eropa ini.
Yunani adalah salah satu negara eropa yang menderita akibat krisis finansial. Mata uang Euro juga turut melemahkan perekonomian Yunani. Suka tidak suka, negara dengan ekonomi digdaya seperti Jerman mengarahkan jalannya ekonomi di Uni Eropa. Warga Yunani misalnya lewat referendum tahun 2015 pernah menolak bantuan Uni Eropa.
Mereka menolak bailout Uni Eropa karena percaya akanbailoutitu menyengsarakan rakyat Yunani lewat berbagai kebijakan pengetatan. Namun menariknya, warga Yunani tetap mau tergabung dalam Kawasan Uni Eropa. Meski secara ekonomi Uni Eropa membuat mereka sengsara, namun mereka percaya Uni Eropa dapat memberikan keamanan dan stabilitas lewat kerjasama.
Benar bahwa di Eropa dan Amerika, kini gerakan sayap kanan nasionalis sedang bangkit kembali. Di Perancis, Swedia, Inggris, bahkan Jerman sayap kanan mulai mendulang suara. Minoritas terutama imigran dipersalahkan. Persoalannya bermuara pada ekonomi dan kesempatan kerja. Padahal keterbatasan satu pemerintah untuk mencapai agenda mereka dibatasi oleh berbagai kebijakan Lembaga keuangan internasional, korporasi dan pemilk modal.
Benjamin Barber dalam Jihad Vs McWorld mengatakan, “Kita menyebut mereka multinasional tapi mereka lebih akurat disebut sebagai post-nasional, transnasional atau bahkan anti-nasional. Sebab mereka mengharamkan ide bangsa, atau yang membatasi mereka dalam ruang dan waktu.”
Berbagai kenyataan tadi setidaknya membuka mata kita bahwa konsep dan praktek negara-bangsa sedang menghadapi ujian terutama terkait relevansinya. Masih relevankah konsep negara bangsa di tengah gempuran globalisasi, liberalisasi ekonomi, banjir informasi bahkan mobilitas penduduk? Mampukah ia bertahan?
Pertanyaan seperti ini seharusnya dijawab oleh pemerintah. Namun kita menemui satu kontradiksi. Ketika pemerintah mencoba memberangus ide khilafah dan menekankan relevansi konsep negara bangsa, di saat yang sama mereka membuka air bah liberalisasi ekonomi yang menghancurkan batas-batas negara bangsa. Menandatangani berbagai perjanjian kerjasama yang melindas kedaulatan negara itu sendiri. Maka kita tak perlu heran kalau saat ini argumen cerdas pemerintah tak kunjung muncul di media arus utama. Nampaknya, bagi mereka lebih mudah meneriakkan slogan “harga mati” meski kenyataannya mendukung “harga pasar”.
Penulis: Beggy Rizkiansyah, (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB))