بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
MUJAHID DAKWAH.COM, IDLIB, SURIAH – Setelah selama tujuh tahun berperang melawan tirani rezim Assad, kini pejuang rakyat Suriah harus bersiap menghadapi kemungkinan gempuran pasukan rezim yang disokong Iran dan Rusia, hingga titik darah penghabisan.
Tak ada pilihan lain bagi para gerilyawan selain melawan atau gugur di medan perang sebagai syuhada.
Di Idlib saat ini ada puluhan ribu anggota gerilyawan yang masih bertahan, termasuk kelompok Al Qaidah di Suriah yang sebelumnya bertempur untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Saat ini para pejuang rakyat Suriah hanya menggantungkan nasibnya kepada kekuatan iman dalam keterbatasan. Mereka juga berusaha menggalang dukungan internasional, dan yang paling mungkin saat ini adalah dukungan dari Turki.
“Seluruh dunia sudah meninggalkan kami kecuali Turki,” kata Naji al-Mustafa, juru bicara kelompok Barisan Nasional untuk Pembebasan yang selama ini disokong Turki.
Diketahui, Ankara belum lama ini sudah menggelar pertemuan dengan Rusia dan Iran untuk mencapai resolusi di Idlib. Di saat yang sama Turki juga mengerahkan pasukannya di sekitar Idlib buat bersiaga.
Dilansir dari laman AP, Selasa (18/9), sambil menyerukan dukungan dari Amerika Serikat dan Eropa, Turki kini berusaha menekan Rusia untuk menerima usulan solusi bagi Idlib guna menghindari bentrokan.
Kemarin Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk kedua kalinya bertemu Presiden Vladimir Putin di Sochi, Rusia. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara akhirnya menyepakati zona demiliterisasi dan meminta pihak bertikai untuk menarik pasukannya.
Keputusan pemimpin Rusia, Vladimir Putin dinilai sebagai langkah strategis guna menarik dukungan Turki dari negara-negara Barat.
“Setelah membuktikan pengaruhnya di Suriah dan Timur Tengah, Rusia kini ingin menarik Turki dari negara Barat,” ujar pengamat hubungan Turki-Arab, Mustafa Ellabbad yang menulis untuk koran Kuwait, Al-Qabas.
Sejak menguasai Provinsi Idlib, seluas Lebanon, pada 2015, kaum gerilyawan menguasai sebagian besar wilayah ini. Idlib memiliki akses ke perbatasan Turki. Pasokan senjata dan bantuan logistik serta kemanusiaan juga melewati jalur dari Turki.
Dari sekitar 60 ribu anggota koalisi faksi pejuang, ada sedikitnya 10 ribu militan jaringan Al Qaidah seperti Hayah Tahrir al-Syam. Ribuan militan asing dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah juga menjadi tulang punggung kelompok ‘radikal’ di Idlib.
“Pemberontak berharap Turki bisa mendukung mereka untuk mendirikan sebuah republik di sebelah utara Suriah yang dilindungi Turki seperti layaknya Siprus Utara,” kata Fabrice balanche, pengamat Suriah di Institut Washington.
Dalam unjuk rasa di Idlib selama dua pekan terakhir, massa turun ke jalan seraya menolak sebutan provinsi itu adalah sarang kaum ekstremis. Ribuan orang mengibarkan bendera oposisi.
Sejumlah spanduk bertuliskan ‘Pemberontak adalah harapan kami dan Turki adalah saudara kami’.
Sumber: Associated Press