بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi -argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah. Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani‘), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu.[1]
Kedua membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala yang wujud.[2] Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani).
Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat),[3] Hasil dari proses berfikir demonstratif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran.[4] Kedua thesis di atas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an.
Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh akal tidak akan bertentangan dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu, dan tentang wahyu yang diklasifikasikan ke dalam makna.
Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam tiga kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Qur’an, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara demonstratif yang disebut ahl al-burhan .[5] Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai kemampuan untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif); 2)
Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi.[6] Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.(الامثال المضروبة لتلك المعانى) b) makna batin yaitu teks yang mengandung idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahl al-burhan. (تلك المعاني التي لا تنجلي إلا لأهل البرهان); 3) teks yang bersifat ambiguos antara zahir dan batin.[7] Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Nampaknya, yang dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah hubungan antara ayat-ayat yang mengandung makna batin dan kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka itu menurutnya perkataan الراسخون في العلم dalam al-Qur’an (3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para filosof.[8]
Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan Ibn Rushd jelas bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun demikian, Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang terbaik menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum Fiqh. Dalam kasus tertentu pengetahuan tentang al-mawjud “tidak disebutkan” dalam wahyu dan dalam kasus yang lain “disebutkan”. Jika tidak disebutkan maka ia harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh.
Jika pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya betentangan dengan hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara:[9] Pertama dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang berlaku, yaitu “menterjemahkan arti sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya .”[10] Kedua dengan mencari semua makna zahir dalam al-Qur’an yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik atau yang mendekati makna alegorik itu.[11]
Akan tetapi untuk menta’wilkan secara majazi makna ayat zahir pada alternatif pertama Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh dita’wilkan atau tidak. Jika makna zahir sesuatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan (al-ma’na al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu dita’wilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya daripada zahirnya ayat-ayat itu harus dita’wilkan sesuai dengan kesesuaian antara simbol (al-mithal ) dengan benda yang disimbolkan (al-mumaththal ).[12]
Jika simbol dan benda yang disimbulkan dapat mudah diketahui maka setiap orang boleh menta’wilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang disimbolkan sukar diketahui atau jika simbol-simbol itu mudah diketahui tapi benda yang disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh dita’wilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali dengan penjelasan yang berbeda .[13]
Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal atau kreteria untuk membenarkan kesahihan pengetahuan mereka tentang kedua-dua hal itu.
Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd dalam ta’wil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-‘Arab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi standard bahasa Arab dengan simbol-simbol itu tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan difahami oleh para sahabat dan tabi’in. Demikian pula proses ta’wil yang dijelaskan seakan-akan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang .
Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau lainnya. Dengan membatasi makna perkataan berarti ia memberikan otoritas menta’wilkan makna batin al-Qur’an kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat.
Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam al-Qur’an. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal dan wahyu dapat difahami lebih jelas.
Catatan:
[1] Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Immarah, 1
[2] The verses are al-Hashr 2; al-A’raf 184; al-ghashiyah 16-17
[3] Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 28-29.
[4] Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 31
[5] Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, p. 52. G.Hourani, Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65.
[6] G. Hourani, Averoes, 59
[7] G. Hourani, Averoes, 59. Klassifikasi ini berbeda dari klassifikasi kelompok tradisionalist yang diwakili oleh fuqaha’. Memang klassifikasi ini dimaksudkan untuk tujuan falsafah dan bukan Fiqh. Tapi dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid Ibn Rushd mempertahankan klassifikasi tradisional. Lihat Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Cairo: al-Halabi, third edition, 1960, 3-6.
[8] Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, 37.
[9] G. Hourani, Averoes, 51.
[10] definisi ta’wil sepenuhnya ialah: Mengeluarkan (membawa) indikasi lafaz dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian sebenar, dengan tanpa menyimpang dari kebiasaan Bahasa Arab dalam metafora. Lihat Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 32.
[11] G.Hourani, Averroes, 25.
[12] Yang dimaksud Ibn Rushd dengan simbol bukanlah bahasa sebagai simbol konsep, tapi suatu konsep itu sendiri yang merupakan simbol (mithal) dari konsep yang lain.
[13] Ibn Rushd, “al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah”, terjemahan George Hournai, dalam Averoes, 78-79
***********
Penulis: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Pendiri INSISTS)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
📡 Kunjungi Kami di akun sosial Mujahid Dakwah.Com
📲 Facebook : https://goo.gl/Z63qri
📲 Instagram : https://goo.gl/6tQbJA
📲 Twitter : https://goo.gl/H6DrwK
📲 Youtube : https://goo.gl/xmf1Vi
📲 Telegram : https://goo.gl/9e3ZBe
🌍 Website : http://mujahiddakwah.com
🎗 Sponsor : Kokoh Ikhwah
(Fb : Kokoh Ikhwah. https://goo.gl/1UyF8e)
(Info Pemesanan, WA +62 852-5475-7734)
(Ingin Jadi Sponsor, Pasang Iklan di Grub dan di website??)
(Silahkan chat nomor di atas)